Memang tidak ada kerusakan yang menyolok yang dirasakan oleh perokok dalam jangka pendek. Kerusakan yang diakibatkan pelan dan memakan waktu yang lama. Sampai-sampai untuk menelitinya, Austin Bradford Hill, Richard Doll, dan Richard Peto pada tahun 1951 harus meneliti sebanyak 40.000 dokter di Inggris (bayangkan meneliti 40.000 orang dokter!) dibagi dalam 4 kelompok (bukan perokok, perokok ringan, perokok sedang dan perokok berat). Karena samarnya pengaruh, sehingga butuh sampel penelitian dalam jumlah besar. Jumlah besar saja tidak cukup, Doll dkk, harus mengamati 40.000 dokter ini selama 20 tahun! Dari penelitian ini terbukti bahwa merokok secara langsung menyebabkan kanker paru. Usaha keras tiga peneliti ini tidak saja menunjukkan bukti, tetapi mereka mendapatkan gelar Sir dari Kerajaan Inggris Raya.[1] Selanjutnya penelitian tentang rokok terus bertambah dan berkembang hingga terkumpul sampai lebih 70.000 bukti ilmiah bahaya rokok.
Bagaimana caranya seseorang bisa menjadi seorang yang “maniak” dengan rokok?
Untuk bisa menjadi seorang pecandu rokok itu butuh proses yang panjang dan melibatkan ketegangan emosional. Jadi sama sulitnya dengan seorang mahasiswa/i yang berjuang mendapatkan gelar sarjana atau magister.
Semua bermula dari coba-coba. Yang paling sering adalah tidak tahan terhadap tekanan teman-teman “satu geng” dianggap banci kalau tidak ikutan merokok. Awalnya terasa pusing bahkan beberapa sempat mengalami radang tenggorokan. Setelah itu mulai terbiasa. Kemudian bila dilanjutkan terus, mulai timbul rasa “kepuasan” psikologis terutama saat mengalami permasalahan yang membuat emosi terguncang, pada saat inilah akhirnya merokok menjadi semacam “pelipur lara”, sehingga pada saat ini si perokok tadi mengalami ketergantungan psikologis. Bila terus berlanjut akhirnya mengalami ketergantungan fisik. Sehari tidak merokok, tubuh terasa lemas dan tidak berdaya.
Bagaimana caranya menghentikan kebiasaan merokok?
Menghentikan kebiasaan merokok sama sulitnya dengan memulai kebiasaan merokok. Butuh komitmen yang luar biasa kuat. Saya mempunyai teman seorang perawat yang sudah dalam taraf pecandu rokok. Gigi geliginya terutama bagian yang menancap dengan gusi sudah mulai “tercat” kehitaman seperti kerak pada menara cerobong asap. Agar bisa berhenti, harus melalui “sakau” (sakit lah yau) karena nikotin yang biasa mengisi di “ruang hati” tiba-tiba harus lenyap dari “kenangan”. Sulit tidur, badan terasa loyo, dan sari awan yang hampir setiap saat muncul mengiringi perjuangan beliau berhenti dari kebiasaan merokok. Dan alhamdulillah, setelah berlalu menginjak bulan kedua, rasa “sakau” ini telah berlalu. “Memori indah” rokok yang telah hadir “ di ruang hati” masih saja tetap terasa. Bahkan mungkin setelah beberapa tahun berhenti merokok. “Rasa” itu juga sama dengan yang dialami teman saya satu lagi bukan seorang profesional kesehatan, tetapi bekerja dalam lingkungan profesional kesehatan. “Rasa” kecanduan yang dialami adalah bermain judi. “Memori indah” main judi masih “tidak bisa dibendung” ketika melihat seseorang yang kebetulan memakai sesuatu yang mirip dengan teman judinya dulu. Misalnya melihat seseorang yang memakai jaket yang sama dengan teman karibnya yang sama-sama main judi, “rasa rindu” judi tiba-tiba muncul seperti seorang yang merindui kekasihnya. Karena itu bisa dimaklumi angka kekambuhan perilaku yang sudah mencandu seperti merokok atau main judi penyakit lumayan tinggi. Walaupun demikian tidak sedikit orang yang berhasil lepas dari “perangkap” candu rokok maupun perilaku negatif lain seperti judi penyakit.
Perokok selain menebar "pesona maut" baik diri sendiri maupun orang disekitar yang menjadi perokok pasif, juga sering "egois" mengganggu kejernihan dan kesegaran udara orang yang tidak merokok disekitar dan "kurang sopan"
[1] Bhisma Murti, 2006, Desain dan Ukuran Sampel Untuk Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif di Bidang Kesehatan, Gajah Mada University Press, hal 95 – 96.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar