Minggu, 11 Juli 2010

100 % kosong, sekali lagi masalah pembiayaan kesehatan

Masalah tersulit di dunia ini adalah membuat keseimbangan.. termasuk dalam bidang kesehatan. Dokter mempunyai kelebihan tahu penyakit dan tahu tentang obat...sedangkan pasien mempunyai kelebihan dalam hal penyakit.



Masalahnya adalah ketika dokter dan pasien terjadi kontak... yaitu menyembuhkan penyakit atau usaha mendapatkan kesehatan kembali yang hilang oleh pasien... membutuhkan biaya. Seringkali pada saat sakit pasien dan keluarganya tidak siap dengan risiko biaya yang dihadapi bahkan tidak punya sama sekali persiapan finansial. Sehingga kesakitan menggerus modal usaha keluarga, dan mulailah lingkaran setan kemerosotan keuangan keluarga akibat penyakit yang diderita salah satu anggota keluarga.



Sehingga saat penyakitnya sudah sembuh, ketika melihat rekening tagihan biaya saat sakit, bukannya malah sembuh, tetapi justru menderita penyakit baru akibat "kaget" dengan biaya sakit yang demikian menggunung




Salah satu solusi untuk mengatasi risiko biaya saat sakit adalah asuransi kesehatan. Sebenarnya menyisihkan sebagian kecil dana untuk membayar premi asuransi adalah salah satu solusi sederhana untuk mengatasi masalah ini. Namun sayangnya kesadaran akan kebutuhan ini kalah dengan biaya-biaya yang justru malah merugikan kesehatan diri dan keluarga...

Sebuah penelitian di daerah Kabupaten Gunung Kidul pada 600 kepala keluarga yang dipilih secara acak, menunjukkan bahwa 11% anggaran pengeluaran rumah tangga atau sebesar Rp. 60.500,- per bulan per keluarga dibelanjakan untuk tembakau atau rokok, dan sebesar Rp. 45.500,- (8,6%) untuk kegiatan sosial seperti sumbangan pernikahan, ’jagong bayi’ dan lain-lain.[1]

Sekedar tambahan informasi, di tahun 2000 sampai 2003 saat saya PTT, gaji saya dipotong sebesar Rp. 16.000 per bulan untuk membayar premi asuransi kesehatan.

Dengan membayar premi sebesar itu, pada saat sakit dan perlu opname di rumah sakit bisa mendapatkan kelas II dengan obat-obatan yang hampir semuanya ditanggung oleh perusahaan Askes. Sebenarnya lebih murah kan, dengan membayar premi semurah itu, saat kita sakit, modal usaha, ataupun dana-dana lain yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan yang jauh lebih mendesak, relatif tidak tergerogoti. Tetapi kenyataannya orang lebih memilih menganggarkan beli rokok yang dalam satu bulan bisa menghabiskan dana Rp. 60.500 sekitar empat kali lipat harga premi asuransi kesehatan untuk sekelas saya saat PTT setara dengan PNS golongan IIIA. Cek cek cek! Sampai geleng-geleng kepala...ga habis pikir.



[1] Ali Ghufron Mukti, 2002; Skema Pelayanan Keehatan Pra-Upaya Sebagai Strategi Keluar dari Permasalahan Pemberhentian Program Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan di DIY; Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan Vol 05/No.01/2002 hal 57


Tidak ada komentar:

Posting Komentar