Sabtu, 19 Februari 2011

Tahukah Anda Berapa Banyak Kolesterol Yang Aman untuk Anda Konsumsi Hari Ini?

Bagi Anda yang saat ini berusia menginjak 40 tahun atau lebih, secara fisik terlihat mulai meninggalkan dunia hitam (maksudnya warna rambut sudah mulai meninggalkan warna hitam menuju ke-putih-an) perlu Anda perhatikan dengan seksama kadar kolesterol berbagai makanan berikut:

Kandungan kolesterol beberapa bahan makanan

Setiap 100 gram bahan

Kolesterol (mg)

Susu sapi cair

11

Daging ayam

60

Daging sapi, kambing, babi, ikan

70

Susu bubuk penuh (full cream)

85

Lemak babi

95

Keju

100

Udang

125

Mentega

250

Hati

300

Telur

550

Otak

2000

Beberapa catatan penting yang HARUS diperhatikan

1. Bagi mereka yang kadar kolesterol darahnya tinggi, tetapi kadar trigliserida normal atau agak tinggi maka konsumsi kolesterol sehari tidak lebih dari 300 mg, lemak dibatasi sedangkan karbohidrat tidak dibatasi

2. Bagi mereka yang kadar trigliserida darahnya tinggi, tetapi kadar kolesterol normal atau agak tinggi maka konsumsi lemak, karbohidrat dan kolesterol dibatasi (konsumsi kolesterol 300 – 500 mg sehari)

3. Asupan kalori sesuai kebutuhan dalam hal ini tergantung aktivitas harian, untuk asupan protein tidak dibatasi seperti putih telur, tetapi dianjurkan banyak mengonsumsi makanan yang berserat

4. Makanan / minuman yang manis seperti sirup, dodol dan es krim mulai dibatasi, sedangkan daging tak berlemak tidak lebih dari 100 gram atau 1 ons satu harinya

Salam sehat dan semoga bisa menjaga amanah kesehatan sebaik-baiknya... amin

Rabu, 16 Februari 2011

"Road map" peristiwa perceraian



Pada gambar, terlihat bahwa secara umum permasalahan-permasalahan utama yang mengikuti peristiwa besar perceraian ada tiga tahap :
1. Pra – perceraian
2. Jatuhnya talak/cerai yang sah secara hukum dan administrasi negara
3. Keputusan-keputusan penting pasca perceraian
Bahasan berikut mencoba untuk memerinci permasalahan beserta kemungkinan-kemungkinan tindakan preventif pada tingkat tersier apa yang bisa diusahakan untuk meminimalisir dampak-dampak buruk dari peristiwa hidup yang sangat menekan, yakni perceraian.
Masa pra – perceraian
Pada masa ini, merupakan gejala “prodromal” (pendahuluan) yang tampak sebelum terjadinya perceraian secara resmi dijatuhkan. Ada dua permasalahan utama (tidak menafikan munculnya permasalahan lain), yaitu :
a. Konflik yang berkepanjangan
b. Fungsi-fungsi keluarga yang terganggu
Konflik berkepanjangan bisa disebabkan berbagai sebab, yang akhirnya menjadi sebab terjadinya perceraian seperti yang terlihat dalam bab 1. Konflik berkepanjangan ini secara langsung berakibat pada hubungan, peran dan fungsi dari suami/ayah, anak, istri/ibu. Lebih lanjut akan mempengaruhi pola pengasuhan orang tua anak yang tidak baik, yang berujung pada fungsi keluarga yang tidak baik pula. Selanjutnya akan mempengaruhi optimalisasi proses tumbuh kembang dan pemantapan kematangan multiaspek bagi orang tua sendiri.
Pendekatan pada tahap ini sama dengan pendekatan keluarga yang tidak harmonis, yaitu mediasi pernikahan atau adanya pihak penengah dan/ atau wali. Dokter atau psikolog bisa melakukan peran ini, dengan penambahan pengetahuan dan keterampilan khusus.
Jatuhnya talak / cerai yang sah secara hukum dan administrasi negara

Pada fase inilah seringkali permusuhan antara suami istri yang paling sengit terjadi. Ada dua hal yang seringkali menjadi sumber permusuhan yaitu
a. Pembagian harta gono-gini
b. Siapa yang diberikan tanggung jawab pengasuhan anak.

Walaupun pada tahap ini domainnya adalah masalah hukum dan administrasi, tetapi masih dibutuhkan peran ahli yang memahami psikologi anak, terutama dalam menjelaskan apa yang terjadi pada orang tua mereka. Sangat ditekankan di sini bagi kedua orang tua biologis anak adalah perpisahan ini tanpa diiringi dengan permusuhan. Dan anak masih mempunyai hak untuk mengakses kedua orang tua biologis mereka.

Keputusan-keputusan penting pasca perceraian
Setelah keputusan cerai sah secara hukum dan administrasi negara, secara umum ada dua keputusan penting untuk melanjutkan kehidupan yang harus dilalui, yaitu :
1. Tidak menikah / orang tua tunggal
2. Menikah kembali
Dua keputusan ini mempunyai konsekuensi yang sama berat. Setidaknya ada dua konsekuensi yang harus diperhatikan berkaitan dengan pengambilan dua keputusan penting di atas, yaitu :
1. Reposisi peran dan fungsi
2. Perubahan jejaring sosial dan finansial
Keputusan untuk tidak menikah
a. Reposisi peran dan fungsi
Reposisi yang penting adalah menjadi orang tua tunggal, terutama bagi ibu, yang dalam kompilasi hukum Islam Pengadilan Agama, asal ibu tidak mempunyai masalah yang berarti, dan anak masih di bawah 12 tahun, ditunjuk mendapat tanggung jawab pengasuhan anak. Atau bila ibu bermasalah, dan anak yang di atas 12 tahun memilih ayah sebagai penanggung jawab pengasuhan, dalam hal ini ayah yang memilih tidak menikah lagi berperan sebagai orang tua tunggal.
Orang tua tunggal baik ibu mengasuh anak, maupun ayah yang menanggung pengasuhan anak, adalah peran baru yang lebih kompleks. Sebelumnya ada pembagian tanggung jawab, pada saat ini semuanya ditanggung “sendiri”, butuh reposisi peran dan fungsi untuk beradaptasi dengan keadaan baru. Permasalahan bagi anak adalah bagaimana bisa memahami perpisahan orang tua mereka, dan bisa lebih memfokuskan diri pada masa depan mereka, bukanlah perkara yang mudah.
Dokter, psikolog, pekerja sosial dan agamawan mempunyai peran disini mendampingi proses reposisi peran, baik bagi orang tua tunggal dan anak-anaknya.
b. Perubahan jejaring sosial dan finansial
Perceraian mempunyai dampak bagi “hilangnya” sebagian jejaring yang merupakan “andil” dari pasangan yang pada saat ini sudah tidak lagi bersamanya. Jejaring ini mempunyai andil dalam memberikan dukungan sosial maupun finansial, baik secara langsung maupun tidak langsung. Contoh jejaring ini misalnya relasi bisnis, teman yang mempunyai akses ke peluang kerja dan saudara menjadi “berkurang” bersama perginya pasangan dari “struktur” baru keluarga. Keluarga besar, teman-teman dekat pasangan diharapkan memberikan dukungan melebihi dari biasanya. Juga, pasangan yang kini menjadi orang tua tunggal harus menghilangkan rasa malu dan semua rasa yang tidak enak ketika mendapatkan dukungan yang lebih dari saudara dan teman-teman dekat.
Keputusan menikah lagi
a. Reposisi peran dan fungsi
Menikah lagi juga bukan permasalahan yang mudah. Bila pasangan baru ini masih perjaka atau gadis, akan mengundang “stigma” menikah dengan janda atau duda yang tidak mudah dihilangkan begitu saja, terlebih bila pasangan pasca bercerai ini membawa anak. Tiba-tiba saja si perjaka atau gadis ini berstatus menjadi orang tua. Dan bagi anak yang ikut, dia harus menyesuaikan diri dengan ayah atau ibu “baru” mereka. Status ayah atau ibu tiri beserta “stigma” kurang sayang dengan anak-anak “tiri” juga menjadi halangan yang tidak mudah disingkirkan begitu saja. Bila ada masalah dalam interaksi antara mereka akan semakin memperkuat “stigma” ini.
Relatif lebih mudah bila sama-sama tidak membawa anak. Atau lebih rumit lagi bila sama-sama membawa anak dalam “keluarga baru” mereka.
Karenanya perlu peran dari konsultan keluarga yang tampaknya belum ada di negara kita.
b. Perubahan jejaring sosial dan finansial
Secara struktur dengan menikah kembali, terdapat penambahan “jejaring” baru dari pasangan yang baru dinikahi, tetapi juga terdapat pengurangan “jejaring” lama dari pasangan yang telah diceraikan. Permasalahannya adalah bagaimana mengelola jejaring itu bisa bertahan. Setidaknya secara struktur lebih menguntungkan bagi mereka yang menikah lagi dalam hal jejaring. Sehingga dukungan sosial dan finansial lebih baik bagi yang menikah lagi ketimbang yang tetap sendiri menjadi orang tua tunggal

Mana yang duluan kebahagiaan hidup atau kebahagiaan perkawinan?

Kebahagiaan hidup = kebahagiaan perkawinan, itulah yang tersirat dari penelitian yang dilakukan Claire M Kamp Dush, Miles G Taylor dan Rhiannon A Kroeger di Amerika Serikat yang melibatkan lebih dari 2 ribu orang yang menikah. Dalam penelitian ini didapatkan bahwa orang yang hidupnya bahagia, kemungkinan pernikahannya bahagia sebesar 3,74 kali, orang berkulit putih 1,24 kali, istri lebih banyak waktu luang 1,16 kali, suami ikut berbagi pekerjaan rumah tangga 2,11 kali, berbagi dalam pengambilan keputusan 1,25 kali, rumah tangga yang lebih religius 1,1 kali, serta masih menjunjung tinggi nilai-nilai pernikahan tradisional sebanyak 1,74 kali. [1]

Penelitian di Amerika Serikat orang yang hidupnya bahagia mempunyai kemungkinan pernikahannya juga bahagia sebanyak 3,74 kali, orang berkulit putih 1,24 kali, istri lebih banyak waktu luang 1,16 kali, suami ikut berbagi pekerjaan rumah tangga sebanyak 2,11 kali, suami berbagi keputusan dengan dengan istri 1,25 kali, rumah tangga yang lebih religius 1,1 kali serta mempertahankan nilai-nilai tradisional pernikahan sebanyak 1,74 kali



[1] Dush CMK; Taylor MG; Kroeger RA; Marital Happiness and Psychological Well-Being Across the Life Course; Family Relations; Apr 2008; 57, 2; Academic Research Library; pg. 211

Cegah Cerai dengan Rencanakanlah Pernikahan Sebaik-baiknya

Dalam filosofi Jawa, banyak nasehat-nasehat bagi muda-mudi yang memutuskan akan mengakhiri masa lajangnya, yaitu agar memperhatikan betul “bobot”, “bebet” dan “bibit”. Jadi tidak sekedar merasa “soulmate” lantas dilanjutkan ke jenjang yang lebih serius, yaitu pernikahan.

Bobot bisa diartikan aspek kualitas mental spiritual, sedangkan bebet diartikan aspek kekayaan, dan yang terakhir bibit adalah penekanan pada aspek biologis. Sebuah penelitian di Australia, meneliti perceraian dan ketidakstabilan pernikahan dan kemungkinan diturunkan atau terjadi antar generasi, menunjukkan bahwa orang-orang tua yang bermasalah memperbesar peluang terjadinya perceraian pada anak-anaknya saat mereka menjalani kehidupan rumah tangga mereka. Dengan mengkaji 2.310 anak-anak dari orang tua kembar beserta pasangannya, dengan tujuan untuk mengontrol faktor genetiknya, D’Onofrio dan rekan, mengamati perilaku-perilaku bermasalah dari orang tua yang mempunyai dampak meningkatkan peluang terjadinya perceraian pada anaknya. Untuk melihat perilaku bermasalah apa yang mempunyai peluang meningkatkan kemungkinan anak bercerai setelah berumah tangga nanti dapat dilihat pada tabel berikut. [1]

Tabel. Karakteristik “perilaku” orang tua dan peluang meningkatkan resiko perceraian pada keturunannya.

Jenis perilaku/karakteristik

Ibu

Bapak

Peluang

Signifikansi statistik

Peluang

Signifikansi statistik

Perokok

1,07 kali

Tidak signifikan

1,15 kali

Tidak signifikan

Gangguan perilaku

1,15 kali

Tidak signifikan

1,12 kali

Tidak signifikan

Pecandu alkohol

1,06 kali

Tidak signifikan

1,19 kali

Tidak signifikan

Depresi

1,06 kali

SIGNIFIKAN

1,03 kali

Tidak signifikan

Pecandu obat

2,05 kali

SIGNIFIKAN

1,71 kali

Tidak signifikan

Usaha bunuh diri

1,08 kali

Tidak signifikan

1,19 kali

Tidak signifikan

Dari tabel di atas, terlihat pengaruh ibu sangat besar bagi kebahagiaan anak, termasuk dalam hal peluang kestabilan pernikahan keturunannya. Walaupun ayah yang berperilaku buruk seperti perokok, gangguan perilaku, pecandu alkohol, depresi, pecandu obat dan pernah berusaha bunuh diri mempunyai peluang, tetapi setelah dikaji secara statistik, peluang itu tidak signifikan. Sebaliknya bila ibu, terutama ibu yang mengalami depresi dan pecandu obat membuat anak berpeluang mengalami perceraian lebih besar (terutama ibu yang pecandu obat) dan dikaji secara statistik adalah signifikan.

Mengetahui Karakter Calon adalah Penting

Dikisahkan seorang pemuda sholih yang berjalan di siang hari, menyusuri sungai. Tidak ada makanan yang disentuhnya hari itu, ia sangat lapar, badannya lemas. Untuk mengatasinya sang pemuda ini berhasrat meminum air sungai untuk memulihkan kesegarannya.

Tiba-tiba bersama aliran sungai muncul buah apel merah mengambang, yang terlihat nikmat. Tanpa sadar segera ditangkap, dibersihkan dan disantapnya dengan lahap, sehingga membuat laparnya hilang.

Kemudian pemuda ini tersadar “Apel ini bukan milikku, kenapa aku memakannya? Padahal aku tidak tahu siapa pemiliknya.”

Sang pemuda berjalan menelusuri sungai ke arah hulu asal buah apel mengalir. Akhirnya, ia menemui pohon apel berbuah lebat yang menjulur ke sungai. Ia mencari pemilik pohon apel itu. Ketika bertemu sang pemilik, pemuda tadi mengatakan bahwa ia bersedia melakukan apa saja, agar sang bapak pemilik apel ini meridhoi apel yang telah dimakannya.

Mendengar cerita sang pemuda, bapak pemilik apel sangat kagum, dan jarang beliau temui anak mudah yang gagah, sopan, jujur dan sangat sholih seperti yang dia lihat ini. Alangkah bahagianya jika dia dapat menjodohkan sang pemuda dengan anak gadisnya yang sudah menginjak dewasa.

“Wahai anak muda” kata sang bapak. “Niatmu sungguh baik. Namun, aku sudah bersusah payah merawat pohon apel itu. Tidak bisa aku memaafkanmu begitu saja, kecuali kalau engkau bersedia menikahi putriku.” Lanjut pak tua. Sang pemuda tidak berubah raut wajahnya dan dia bersedia.

“Apakah benar engkau bersedia anak muda?” kata bapak tua itu meragukan. “Engkau tahu wahai anak muda. Anakku itu bisu, tuli, buta dan kakinya lumpuh. Wajahnya biasa-biasa saja, tidak cantik. Bagaimana?” lanjutnya.

Si pemuda tetap pada kesediaannya. Tidak berubah. Ia siap melakukan apa pun untuk menebus kesalahannya. Bapak tua semakin kagum. Akhirnya, mereka sepakat untuk melangsungkan pernikahan itu dan bapak tua itu memanggil anak gadisnya.

Di luar dugaan si pemuda, anak gadis si bapak tua ternyata sehat-sehat saja, tidak bisu, tidak tuli, tidak buta apalagi lumpuh. Bahkan matanya sangat indah, putih dan wajahnya sangat cantik. Tak tahan dengan keanehan ini, maka si pemuda pun berkata, “Wahai Bapak, Anda bilang putri Anda bisu, tuli, buta dan kakinya lumpuh. Tapi putri anda sehat-sehat saja. Bahkan menurutku putri anda sangat cantik rupawan.

Sang bapak tersenyum, “Begini anak muda,” katanya pelan. “Anakku kukatakan bisu dan tuli karena ia tidak pernah mengatakan dan mendengar hal-hal yang dilarang agama. Kukatakan ia buta dan lumpuh karena ia tidak pernah melihat sesuatu dan pergi ke tempat yang dilarang agama. Itu maksudku,” kata pak tua sambil terus tersenyum.

Dengan gembira pemuda itu menikahi putri si bapak tua. Ia tidak hanya lepas dari dosa memakan apel haram, tetapi juga mendapatkan jodoh seorang gadis sholihah yang cantik rupawan. Dari pasangan itulah lahir seorang pemuka Islam, yakni Syaikhul Islam al-Imam Syafi’i. Kebaikan selalu menuai keberkahan. [2] Inilah contoh pentingnya mengetahui karakter calon, suami istri yang baik (sholih/sholihah) akan menghasilkan keturunan yang baik (sholih/sholihah).



[1] D’Onofrio, B.M., Turkheimer, E., Emery, R.E., Harden, K.P., Slustke, W.S., Heath, A.C., Madden, P.A.F., Martin, N.G.; A Genetically Informed Study of the Intergenerational Transmission of Marital Instability; Journal of Marriage and Family; Aug 2007; 69, 3; ProQuest Religion pg. 793

[2] Mulyanto; Kisah-kisah teladan untuk keluarga: pengasah kecerdasan spiritual; penerbit Gema Insani Press, 2004