Suatu ketika saya pernah mendapatkan pasien diare dari pondok pesantren, kemudian saya memberikan obat seperti biasa dan anjuran mengonsumsi oralit sebagai pengganti cairan. Ternyata setelah satu pasien diare dari pondok tadi, disusul pasien-pasien berikutnya dan dengan keluhan diare. Sampai sore hingga malam pasien diare dari pondok pesantren itu berdatangan, lagi dan lagi. Hingga total yang menderita diare sampai seratusan dari sekian ribu santri.
Yang menarik adalah, ketika saya tanyakan kepada para santri yang menderita diare itu, semuanya “bersepakat” sama yaitu makan bandeng. Saya lagi kepada santri-santri yang diare tersebut, “Apakah ada teman-teman kamu yang tidak makan bandeng tetapi diare?” Ternyata semua bersepakat dalam jawaban yang sama “TIDAK!” Berarti bisa disimpulkan bandengnya itu yang bermasalah.
Kemudian, saat pengelola pondok datang ke tempat praktik, menanyakan keadaan santri-santrinya, satu-satunya pertanyaan yang saya ajukan kepadanya adalah “Apakah pegawai dapur yang memegang pengelolaan bandeng itu sama dengan pegawai yang lain, khusus pada hari diare ini?” Beliau tidak bisa menjawab, tetapi berjanji akan memberikan informasi itu kepada saya. Akhirnya dari komunikasi lewat telefon, ternyata memang benar bahwa pegawai yang memegang bandeng berbeda dengan masakan yang lain, dan ternyata pula pegawai itu baru masuk setelah sakit beberapa hari. Sebenarnya pada hari kejadian diare masal itu, pegawai yang sakit itu masih belum fit, tetapi memaksakan diri untuk masuk, karena tidak enak liburnya terlalu lama.
Akhirnya kita sadari bersama, pengelolaan makanan yang sehat itu tidak saja bahan-bahan atau materi atau bumbu-bumbunya harus baik dan higienis, tetapi kesehatan sang pengolah makanan itu juga utama dan tidak bisa diremehkan begitu saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar