Dalam filosofi Jawa, banyak nasehat-nasehat bagi muda-mudi yang memutuskan akan mengakhiri masa lajangnya, yaitu agar memperhatikan betul “bobot”, “bebet” dan “bibit”. Jadi tidak sekedar merasa “soulmate” lantas dilanjutkan ke jenjang yang lebih serius, yaitu pernikahan.
Bobot bisa diartikan aspek kualitas mental spiritual, sedangkan bebet diartikan aspek kekayaan, dan yang terakhir bibit adalah penekanan pada aspek biologis. Sebuah penelitian di Australia, meneliti perceraian dan ketidakstabilan pernikahan dan kemungkinan diturunkan atau terjadi antar generasi, menunjukkan bahwa orang-orang tua yang bermasalah memperbesar peluang terjadinya perceraian pada anak-anaknya saat mereka menjalani kehidupan rumah tangga mereka. Dengan mengkaji 2.310 anak-anak dari orang tua kembar beserta pasangannya, dengan tujuan untuk mengontrol faktor genetiknya, D’Onofrio dan rekan, mengamati perilaku-perilaku bermasalah dari orang tua yang mempunyai dampak meningkatkan peluang terjadinya perceraian pada anaknya. Untuk melihat perilaku bermasalah apa yang mempunyai peluang meningkatkan kemungkinan anak bercerai setelah berumah tangga nanti dapat dilihat pada tabel berikut. [1]
Tabel. Karakteristik “perilaku” orang tua dan peluang meningkatkan resiko perceraian pada keturunannya.
Jenis perilaku/karakteristik | Ibu | Bapak | ||
Peluang | Signifikansi statistik | Peluang | Signifikansi statistik | |
Perokok | 1,07 kali | Tidak signifikan | 1,15 kali | Tidak signifikan |
Gangguan perilaku | 1,15 kali | Tidak signifikan | 1,12 kali | Tidak signifikan |
Pecandu alkohol | 1,06 kali | Tidak signifikan | 1,19 kali | Tidak signifikan |
Depresi | 1,06 kali | SIGNIFIKAN | 1,03 kali | Tidak signifikan |
Pecandu obat | 2,05 kali | SIGNIFIKAN | 1,71 kali | Tidak signifikan |
Usaha bunuh diri | 1,08 kali | Tidak signifikan | 1,19 kali | Tidak signifikan |
Dari tabel di atas, terlihat pengaruh ibu sangat besar bagi kebahagiaan anak, termasuk dalam hal peluang kestabilan pernikahan keturunannya. Walaupun ayah yang berperilaku buruk seperti perokok, gangguan perilaku, pecandu alkohol, depresi, pecandu obat dan pernah berusaha bunuh diri mempunyai peluang, tetapi setelah dikaji secara statistik, peluang itu tidak signifikan. Sebaliknya bila ibu, terutama ibu yang mengalami depresi dan pecandu obat membuat anak berpeluang mengalami perceraian lebih besar (terutama ibu yang pecandu obat) dan dikaji secara statistik adalah signifikan.
Mengetahui Karakter Calon adalah Penting
Dikisahkan seorang pemuda sholih yang berjalan di siang hari, menyusuri sungai. Tidak ada makanan yang disentuhnya hari itu, ia sangat lapar, badannya lemas. Untuk mengatasinya sang pemuda ini berhasrat meminum air sungai untuk memulihkan kesegarannya.
Tiba-tiba bersama aliran sungai muncul buah apel merah mengambang, yang terlihat nikmat. Tanpa sadar segera ditangkap, dibersihkan dan disantapnya dengan lahap, sehingga membuat laparnya hilang.
Kemudian pemuda ini tersadar “Apel ini bukan milikku, kenapa aku memakannya? Padahal aku tidak tahu siapa pemiliknya.”
Sang pemuda berjalan menelusuri sungai ke arah hulu asal buah apel mengalir. Akhirnya, ia menemui pohon apel berbuah lebat yang menjulur ke sungai. Ia mencari pemilik pohon apel itu. Ketika bertemu sang pemilik, pemuda tadi mengatakan bahwa ia bersedia melakukan apa saja, agar sang bapak pemilik apel ini meridhoi apel yang telah dimakannya.
Mendengar cerita sang pemuda, bapak pemilik apel sangat kagum, dan jarang beliau temui anak mudah yang gagah, sopan, jujur dan sangat sholih seperti yang dia lihat ini. Alangkah bahagianya jika dia dapat menjodohkan sang pemuda dengan anak gadisnya yang sudah menginjak dewasa.
“Wahai anak muda” kata sang bapak. “Niatmu sungguh baik. Namun, aku sudah bersusah payah merawat pohon apel itu. Tidak bisa aku memaafkanmu begitu saja, kecuali kalau engkau bersedia menikahi putriku.” Lanjut pak tua. Sang pemuda tidak berubah raut wajahnya dan dia bersedia.
“Apakah benar engkau bersedia anak muda?” kata bapak tua itu meragukan. “Engkau tahu wahai anak muda. Anakku itu bisu, tuli, buta dan kakinya lumpuh. Wajahnya biasa-biasa saja, tidak cantik. Bagaimana?” lanjutnya.
Si pemuda tetap pada kesediaannya. Tidak berubah. Ia siap melakukan apa pun untuk menebus kesalahannya. Bapak tua semakin kagum. Akhirnya, mereka sepakat untuk melangsungkan pernikahan itu dan bapak tua itu memanggil anak gadisnya.
Di luar dugaan si pemuda, anak gadis si bapak tua ternyata sehat-sehat saja, tidak bisu, tidak tuli, tidak buta apalagi lumpuh. Bahkan matanya sangat indah, putih dan wajahnya sangat cantik. Tak tahan dengan keanehan ini, maka si pemuda pun berkata, “Wahai Bapak, Anda bilang putri Anda bisu, tuli, buta dan kakinya lumpuh. Tapi putri anda sehat-sehat saja. Bahkan menurutku putri anda sangat cantik rupawan.
Sang bapak tersenyum, “Begini anak muda,” katanya pelan. “Anakku kukatakan bisu dan tuli karena ia tidak pernah mengatakan dan mendengar hal-hal yang dilarang agama. Kukatakan ia buta dan lumpuh karena ia tidak pernah melihat sesuatu dan pergi ke tempat yang dilarang agama. Itu maksudku,” kata pak tua sambil terus tersenyum.
Dengan gembira pemuda itu menikahi putri si bapak tua. Ia tidak hanya lepas dari dosa memakan apel haram, tetapi juga mendapatkan jodoh seorang gadis sholihah yang cantik rupawan. Dari pasangan itulah lahir seorang pemuka Islam, yakni Syaikhul Islam al-Imam Syafi’i. Kebaikan selalu menuai keberkahan. [2] Inilah contoh pentingnya mengetahui karakter calon, suami istri yang baik (sholih/sholihah) akan menghasilkan keturunan yang baik (sholih/sholihah).
[1] D’Onofrio, B.M., Turkheimer, E., Emery, R.E., Harden, K.P., Slustke, W.S., Heath, A.C., Madden, P.A.F., Martin, N.G.; A Genetically Informed Study of the Intergenerational Transmission of Marital Instability; Journal of Marriage and Family; Aug 2007; 69, 3; ProQuest Religion pg. 793
[2] Mulyanto; Kisah-kisah teladan untuk keluarga: pengasah kecerdasan spiritual; penerbit Gema Insani Press, 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar