Pagi siang itu suasana perkuliahan di fakultas kedokteran
berlangsung seperti biasa, tetapi tidak bagi saya. Saya justru merasa gelisah,
ada perasaan was-was yang menghinggapi pikiran saya, khawatir berbuat salah
dari apa yang saya lakukan. Duduk di deretan bangku depan, membuat saya merasa
was-was karena khawatir salah melakukan sesuatu yang nanti akan jadi bahan
tertawaan teman-teman. Saya merasa bahwa seluruh teman-teman yang duduk di
belakang saya, selain memperhatikan kuliah, juga melirik dan memperhatikan
saya...terus dan terus seperti itu. Detik demi detik berjalan terasa lambat,
hingga bulir-bulir keringat dingin keluar dari kulit saya. Dan di akhir kuliah
baju saya basah. Beberapa teman tampak mengkhawatirkan kondisi saya dengan
menanyai “Suf apakah kamu sakit? Kamu baik-baik saja kan?” Saya tidak bisa
menjawab apa apa mengenai pertanyaan dari teman teman saya.
Malam hari setelah menyelesaikan aktivitas belajar, di kamar
kos, bersiap tidur, dan akhirnya bisa terlelap tidur. Tiba-tiba saya terbangun,
berdebar-debar, khawatir dan ragu-ragu apakah pintu kamar sudah terkunci atau
belum. Saya tidak langsung bergerak, tetapi dorongan khawatir dan ragu demikian
kuat untuk mendorong saya untuk bangun untuk mengecek pintu. Padahal saya ingat
betul kalau sebelum tidur sudah mengunci pintu. Kalau saya tidak bangun dan
melakukan pengecekan kunci pintu saya dilanda rasa cemas dan khawatir yang
hebat. Akhirnya mau tidak mau bangkit mengecek pintu, dan sesuai yang saya duga
pintu sudah benar-benar terkunci. Kemudian tidur kembali. Beberapa saat
kemudian, terbangun dan tergegap, tiba-tiba rasa cemas melanda dalam pikiran
kembali dan menghilangkan rasa kantuk. Kali ini yang menjadi bahan kecemasan
adalah apakah kunci pintu sudah diputar dua kali atau cuman satu kali. Ingatan
saya, sudah saya lakukan dua kali putaran kunci. Tetapi lagi-lagi pikiran
pikiran cemas dan kekhawatiran berlebih benar-benar menguasai pikiran dan
kembali lagi mendorong saya untuk bangun dan sekali lagi mengecek secara sadar
untuk memastikan kunci pintu sudah diputar dua kali. Kembali saya berangkat
tidur kembali dan bisa tidur untuk beberapa saat sebelum terbangun lagi dengan
kekhawatiran daun nako kaca apakah sudah benar-benar tertutup dengan sempurna
atau tidak.
Dua keadaan di atas adalah kisah nyata saya di tahun awal-awal
kuliah di fakultas kedokteran, yang belakangan baru saya ketahui setelah
mengikuti kuliah psikiatri (ilmu kesehatan jiwa) sebagai salah satu jenis dari
penyakit jiwa yaitu gangguan kecemasan jenis obsesif kompulsif[1]. Mengapa
saya bisa mengalami gangguan obsesif kompulsif seperti itu?
Secara umum munculnya gangguan jiwa, didahului sebab-sebab
tertentu yang secara prinsip sebab itu adalah penyikapan yang salah terhadap
peristiwa-peristiwa hidup yang menegangkan bagi seorang penderita. Perlu saya
garis bawahi inti katanya adalah PENYIKAPAN YANG SALAH. Kalau melihat peristiwa
yang menegangkan yang saya hadapi, bagi kebanyakan orang peristiwanya adalah
peristiwa yang wajar dan mungkin dianggap remeh. Tetapi bagi saya peristiwa itu
adalah sesuatu yang besar dan saya harus melakukan upaya besar secara
psikologis untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian yang bagi saya itu adalah
sesuatu yang sangat besar. Respons yang saya lakukan dalam menghadapi peristiwa
menegangkan itu tidak cukup memadai agar saya melakukan penyesuaian besar dalam
kehidupan saya. Respons yang tidak cukup memadai ini selanjutnya disebut dengan
istilah DISTRESS.
Sejarah perlakuan saya ketika mengenyam pendidikan dasar,
menengah, dan atas, tidak lepas dari peran ayah dan ibu, terutama peran Ayah.
Ayah saya sangat care terhadap saya,
bahkan terlalu berlebih, lantaran saya anak laki-laki pertama dan di tahun awal
kehidupan, saya harus bertarung hidup dan mati melawan penyakit meningitis[2].
Walaupun dikenalkan mencuci baju, membersihkan rumah, ngepel, menyapu dan
berangkat dan pulang sekolah sendiri, bapak saya selalu melakukan proteksi
berlebih. Pendek kata, banyak hal yang seharusnya bisa saya lakukan secara
mandiri “diambil alih” oleh bapak, bahkan yang paling heboh ketika ujian masuk
perguruan tinggi negeri diantar “full
team” satu keluarga. Problem selanjutnya bagi saya setelah harus hidup
berpisah dengan orang tua selama hampir dua puluh tahun bersama, adalah proses
“penyapihan” dari tanggung jawab yang selama ini diambil alih orang tua,
menjadi tanggung jawab yang secara penuh menjadi beban saya. Tidak kalah hebat
perubahan besar yang saya alami adalah beban belajar yang luar biasa berat.
Banyak istilah yang harus dihafal sekaligus dipahami dan diaplikasikan untuk
memahami konsep-konsep baru. Perubahan cara, lama dan intensitas belajar, harus
saya lakukan secara besar-besaran pula yang sama sekali berbeda dengan cara
belajar saat masih duduk di bangku SMA. Proses inilah yang mengakibatkan
serentetan gejala gangguan kecemasan jenis obsesif kompulsif yang saya derita,
akibat salah dalam mengelola emosi.
[1] Gangguan obsesif kompulsif
adalah yaitu kecemasan yang mendorong penderita secara
menetap untuk mengulangi pikiran atau perilaku tertentu
[2]
Meningitis adalah penyakit radang akibat infeksi pada selaput pembungkus otak,
berakibat penderita mengalami kejang-kejang dan mematikan atau bisa
meninggalkan cacat saraf menetap seumur hidup
Tidak ada komentar:
Posting Komentar