Dalam beberapa tahun terakhir baik di dunia nyata, terlebih
lagi di dunia maya diskusi mengenai efektifitas imunisasi atau vaksinasi
menjadi demikian hangat bahkan ada kecenderungan menjadi panas dan tak terarah.
Memang terasa sulit untuk mengomunikasikan bagaiamana sih hakikat sebenarnya
dari imunisasi, apa tujuannya, bagaimana mekanisme kerjanya dan yang paling
penting bagaimana menilai efektifitasnya dari bahasa medis ke pemahaman yang
bisa diterima bagi khalayak. Membaca beberapa buku dan tulisan mengenai
skeptisme terhadap imunisasi atau vaksinasi ada beberapa hal yang benar dan ada
beberapa hal pula yang salah dipahami atau lebih tepatnya dipersepsi. Hal
menonjol yang dan seringkali dibesar-besarkan adalah mengenai efek samping.
Saya mempunyai pengalaman menarik mengenai efek samping ini, sehingga membuat
seorang pasien tidak mau lagi memberikan obat kepada anaknya setelah dia
membaca brosur yang ada di dalam kemasan yang diberikan kepada pasien. Walaupun
belakangan akhirnya dia menjadi pasien yang “setia”. Ternyata pengalaman ini
pula sama dengan yang dirasakan ketika saya mengikuti sebuah seminar mengenai
terapi injeksi lokal pada keluhan-keluhan nyeri sendi, jaringan lunak dan otot.
Pembicara tersebut adalah seorang dokter senior yang memberikan pelatihan
mengenai terapi injeksi lokal dengan kortikosteroid yang telah beliau lakukan selama
lebih dari tiga puluh tahun. Beliau mengatakan “Kalau Anda membaca efek samping
suatu obat yang ada di brosur obat yang dikeluarkan pabrik, Anda akan menjumpai
sekitar paling banyak sepuluh efek samping. Tetapi kalau Anda mengikuti kuliah
farmakologi, suatu obat akan memiliki efek samping sampai bisa mencapai dua
puluh macam efek samping. Lebih lanjut bila Anda membaca buku teks farmakologi,
Anda akan menjumpai lebih dari lima puluh macam efek samping suatu obat”.
Kemudian beliau melemparkan pertanyaan, “Sebagai dokter, apakah Anda akan
menggigil ketakutan untuk memberikan resep atau tindakan kepada pasien Anda, setelah
tahu efek samping suatu obat itu bisa lebih dari lima puluh?” “Tentu tidak kan?
Kalau kita mengikuti rasa was-was dan takut dengan besarnya jumlah efek samping
itu, tentu Anda akan memutuskan tidak usah praktik dokter saja, apalagi
sekarang sedang seru-serunya musim tuntut menuntut antara pasien kepada dokter
atau sebaliknya” jelas beliau. Selanjutnya beliau menenangkan “Yang penting
kita sudah yakin akan efektivitas dan keamanan obat atau tindakan yang kita
pilihkan untuk pasien, dan kita bisa mengelola efek-efek samping itu,
memberikan pendidikan kepada pasien mengenai peluang munculnya efek samping
itu, dan apa yang harus dilakukan baik bagi pasien dan keluarganya, demikian
juga dengan tindakan-tindakan medis apa saja yang harus kita kuasai untuk dipersiapkan
dalam mengatasi efek samping itu. Toh, sebenarnya peluang munculnya efek
samping itu, terjadi pada satu diantara sekian ribu hingga sekian ratusan ribu
kasus serupa yang ditangani.”
Dapat disimpulkan disini bahwa efek samping itu pasti ada
dan tidak dapat dihindari, bahkan untuk terapi herbal atau pengobatan yang
menggunakan metoda bekam pun tidak luput dari efek samping. Untuk yang terakhir
beberapa waktu yang lalu saya mempunyai pasien mengalami radang pembuluh darah
vena setelah menjalani pengobatan bekam, efek samping yang sama juga bisa
dijumpai pada imunisasi atau vaksinasi yang injeksi. Atas izin Allah SWT semua
bisa diatasi dengan obat-obatan topikal anti-peradangan pembuluh darah yang
dioleskan di kulit. Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada para terapis
bekam, bahwa bekam sendiri ada kontra indikasinya, bahkan kontraindikasi
absolut yaitu pada mereka yang mengalami gangguan pembekuan darah karena
keturunan, seperti hemofilia.
Selanjutnya hal-hal benar dalam pendapat mereka yang skeptis
terhadap imunisasi dan vaksinasi meliputi; pertama pada aspek ideologi
kapitalisme yang “menguasai” motivasi pengembangan dan pemasaran vaksin.
Sebenarnya ini bukanlah dominasi pada vaksin saja, obat-obatan pada umumnya
juga demikian. Siapa saja yang menemukan sebuah kasiat zat dan dibutuhkan oleh
banyak pasien secara hukum dilindungi untuk diperbolehkan melakukan
“eksploitasi” demi keuntungan keuangan dalam kurun waktu sepuluh tahun yang
diberi label hak kekayaan intelektual untuk memonopoli produksi dan
distribusinya. Demikian juga, tekanan pasar modal, tempat para pemilik modal
“mengendalikan” perusahaan farmasi, menekan perusahaan itu agar memeras semua
sumber daya yang dimiliki (bilamana perlu pasien) untuk mendapatkan hak
kekayaan intelektual untuk memonopoli produksi dan distribusinya dalam rangka
mendapatkan penghasilan uang yang berlimpah. Maka benarlah sebuah hadits yang
menyatakan sebaik-baik tempat adalah masjid, seburuk-buruk tempat adalah pasar.
Nah, pada kasus kapitalisme ini, ideologi pasar menguasai seluruh aspek
motivasi pengembangan dan pemasaran obat-obatan termasuk vaksin di dalamnya.
Hal yang sama, ada peluang pengembangan obat herbal dan metoda pengobatan nabi
didominasi oleh ideologi pasar. Hal ini sudah terlihat dari produk-produk tibun
nabawi yang dipalsukan.
Hal kedua yang benar adanya adalah pada aspek fiqh syar’iyah
dalam proses produksi dan pengembangan vaksin. Untuk aspek ini perlu kolaborasi
yang mesra antara pakar hukum syariah dengan pakar kedokteran dan biologi
molekuler, di satu sisi untuk memberikan judgement
secara komprehensif dalam memberikan fatwa yang dibatasi waktu sebelum para
ilmuwan muslim yang faqih dalam agama mampu menemukan obat-obatan yang memenuhi
kriteria efektifitas medis dan syar’i secara bersamaan. Sisi lain pada aspek
kedua, yang sudah disinggung, yaitu jiddiyah kompetensi dan keuangan para
ilmuwan muslim yang faqih dalam agama untuk mengembangkan obat-obatan secara
luas yang efektif dalam proses penyembuhan penyakit, aman, memenuhi secara
syar’i dilakukan dengan kaidah niyat yang lurus, keyakinan akan hasil yang
baik, dan mempertimbangkan segala aspek manfaat dan madharat secara luas dalam
masyarakat.
Terakhir yang tidak kalah penting, karena menjawab judul
utama dalam tulisan ini adalah apakah imunisasi itu efektif? Sebelum menjawab,
saya meminta kepada pembaca membuka Al-qur’an Surah Annisa ayat 28, bahwa Allah
SWT menjadikan kita sebagai makhluk yang lemah. Dari ayat kauliyah, kita adalah
makhluk yang lemah, demikian juga ayat-ayat kauniyah juga akan mendapatkan
kenyataan yang serupa.
Sebelum menikah saya pernah menderita varikokel, yakni
semacam varises yang letaknya tepat di atas testis. Bila penyakit ini tidak di
atasi akan mengganggu kesuburan pria dalam mendapatkan keturunan. Saya memeriksakan
apa yang saya derita kepada dokter bedah urologi. Karena tahu saya pada waktu itu
adalah calon dokter, beliau mengungkapkan akan melakukan tindakan operasi
Palomo, sebagai tindakan terbaik yang ada pada saat itu. Saya bilang kepada
dokter urolog tadi agar diberikan waktu untuk merenungkan berbagai kemungkinan
sebelum saya menyetujui tindakan tersebut. Saya terkejut ketika membuka
kepustakaan dan jurnal yang mendapatkan bahwa keberhasilan operasi Palomo untuk
mengatasi varikokel adalah enam puluh tujuh persen atau hanya dua per tiga.
Jadi dapat dikatakan dua dari tiga orang penderita varikokel yang dioperasi
dengan metoda Palomo yang berhasil. Akhirnya dengan tekad dan tawakkal kepada
Allah SWT saya memutuskan setuju untuk operasi Palomo. Alhamdulillah saya
termasuk dua pertiga penderita yang berhasil, saat ini bisa menghamili istri
dan membuahkan dua keturunan.
Untuk vaksinasi atau imunisasi? Saya termasuk orang yang
berkeyakinan ada kebaikan dari imunisasi dan vaksinasi dalam mencegah
terjadinya penyakit-penyakit yang mematikan seperti campak atau melumpuhkan
seperti polio (otot-otot kaki lumpuh) atau yang melemahkan hingga mematikan
seperti TBC dan hepatitis yang sudah masuk dalam daftar imunisasi dasar di
negara kita. Untuk imunisasi dasar ini, perusahaan BioFarma BUMN milik
pemerintah RI telah dipercaya sebagai produsen dunia untuk menyediakan
vaksin-vaksin untuk keperluan imunisasi dasar ini. Kebaikan dalam pencegahan
ini bisa diibaratkan seperti program pemakaian helm bagi pengendara sepeda
motor yang sebenarnya pencanang program itu adalah dokter ahli bedah saraf yang
melihat penyebab kematian karena kecelakaan lalu lintas bagi pengendara sepeda
motor adalah trauma kepala. Memang kalau dilihat kasus per kasus yang ada di
sekitar kita tidak kentara terlihat, tetapi secara komunitas dalam skala besar,
pengaruh itu ada yaitu penurunan angka kematian akibat trauma kepala pada
pengendara sepeda motor secara signifikan setelah pemakaian helm digalakkan.
Dalam kasus imunisasi pun juga mendapatkan angka yang mirip. Sebagai contoh
pada kasus cacar air, mereka yang terkena “kecelakaan” berinteraksi dengan
virus cacar air, sembilan puluh persen mereka yang tidak memakai “helm”
vaksinasi mengalami derajat sakit yang hebat dibandingkan pada kelompok yang
memakai “helm” vaksinasi. Demikian juga pada kasus imunisasi BCG untuk mencegah
seorang anak balita dari “kecelakaan” terkena hamburan kuman tuberkulosis lewat
nafas dan batuk penderita, karena sudah memilki daya tahan terhadapnya. Karena
dari penelitian skala luas (epidemiologi) didapatkan dua pertiga orang di dunia
ini pernah mengalami “kecelakaan” kena hamburan kuman tuberkulosis dari
orang-orang sekitarnya yang sementara waktu belum terlihat secara klinis penyakitnya.
Mengenai kegagalan imunisasi, efek samping, tentu saja ada
sebagaimana yang telah saya ceritakan pada kasus operasi Palomo. Butuh jiddiyah
ilmuwan muslim untuk mengembangkan imunisasi yang presisinya makin tajam, makin
minim efek samping, dan yang lebih penting secara syar’i dapat
dipertanggungjawabkan. Wallahua’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar