Kamis, 05 Juli 2012

Masih Efektifkah Imunisasi itu?


Dalam beberapa tahun terakhir baik di dunia nyata, terlebih lagi di dunia maya diskusi mengenai efektifitas imunisasi atau vaksinasi menjadi demikian hangat bahkan ada kecenderungan menjadi panas dan tak terarah. Memang terasa sulit untuk mengomunikasikan bagaiamana sih hakikat sebenarnya dari imunisasi, apa tujuannya, bagaimana mekanisme kerjanya dan yang paling penting bagaimana menilai efektifitasnya dari bahasa medis ke pemahaman yang bisa diterima bagi khalayak. Membaca beberapa buku dan tulisan mengenai skeptisme terhadap imunisasi atau vaksinasi ada beberapa hal yang benar dan ada beberapa hal pula yang salah dipahami atau lebih tepatnya dipersepsi. Hal menonjol yang dan seringkali dibesar-besarkan adalah mengenai efek samping. Saya mempunyai pengalaman menarik mengenai efek samping ini, sehingga membuat seorang pasien tidak mau lagi memberikan obat kepada anaknya setelah dia membaca brosur yang ada di dalam kemasan yang diberikan kepada pasien. Walaupun belakangan akhirnya dia menjadi pasien yang “setia”. Ternyata pengalaman ini pula sama dengan yang dirasakan ketika saya mengikuti sebuah seminar mengenai terapi injeksi lokal pada keluhan-keluhan nyeri sendi, jaringan lunak dan otot. Pembicara tersebut adalah seorang dokter senior yang memberikan pelatihan mengenai terapi injeksi lokal dengan kortikosteroid yang telah beliau lakukan selama lebih dari tiga puluh tahun. Beliau mengatakan “Kalau Anda membaca efek samping suatu obat yang ada di brosur obat yang dikeluarkan pabrik, Anda akan menjumpai sekitar paling banyak sepuluh efek samping. Tetapi kalau Anda mengikuti kuliah farmakologi, suatu obat akan memiliki efek samping sampai bisa mencapai dua puluh macam efek samping. Lebih lanjut bila Anda membaca buku teks farmakologi, Anda akan menjumpai lebih dari lima puluh macam efek samping suatu obat”. Kemudian beliau melemparkan pertanyaan, “Sebagai dokter, apakah Anda akan menggigil ketakutan untuk memberikan resep atau tindakan kepada pasien Anda, setelah tahu efek samping suatu obat itu bisa lebih dari lima puluh?” “Tentu tidak kan? Kalau kita mengikuti rasa was-was dan takut dengan besarnya jumlah efek samping itu, tentu Anda akan memutuskan tidak usah praktik dokter saja, apalagi sekarang sedang seru-serunya musim tuntut menuntut antara pasien kepada dokter atau sebaliknya” jelas beliau. Selanjutnya beliau menenangkan “Yang penting kita sudah yakin akan efektivitas dan keamanan obat atau tindakan yang kita pilihkan untuk pasien, dan kita bisa mengelola efek-efek samping itu, memberikan pendidikan kepada pasien mengenai peluang munculnya efek samping itu, dan apa yang harus dilakukan baik bagi pasien dan keluarganya, demikian juga dengan tindakan-tindakan medis apa saja yang harus kita kuasai untuk dipersiapkan dalam mengatasi efek samping itu. Toh, sebenarnya peluang munculnya efek samping itu, terjadi pada satu diantara sekian ribu hingga sekian ratusan ribu kasus serupa yang ditangani.”
Dapat disimpulkan disini bahwa efek samping itu pasti ada dan tidak dapat dihindari, bahkan untuk terapi herbal atau pengobatan yang menggunakan metoda bekam pun tidak luput dari efek samping. Untuk yang terakhir beberapa waktu yang lalu saya mempunyai pasien mengalami radang pembuluh darah vena setelah menjalani pengobatan bekam, efek samping yang sama juga bisa dijumpai pada imunisasi atau vaksinasi yang injeksi. Atas izin Allah SWT semua bisa diatasi dengan obat-obatan topikal anti-peradangan pembuluh darah yang dioleskan di kulit. Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada para terapis bekam, bahwa bekam sendiri ada kontra indikasinya, bahkan kontraindikasi absolut yaitu pada mereka yang mengalami gangguan pembekuan darah karena keturunan, seperti hemofilia.
Selanjutnya hal-hal benar dalam pendapat mereka yang skeptis terhadap imunisasi dan vaksinasi meliputi; pertama pada aspek ideologi kapitalisme yang “menguasai” motivasi pengembangan dan pemasaran vaksin. Sebenarnya ini bukanlah dominasi pada vaksin saja, obat-obatan pada umumnya juga demikian. Siapa saja yang menemukan sebuah kasiat zat dan dibutuhkan oleh banyak pasien secara hukum dilindungi untuk diperbolehkan melakukan “eksploitasi” demi keuntungan keuangan dalam kurun waktu sepuluh tahun yang diberi label hak kekayaan intelektual untuk memonopoli produksi dan distribusinya. Demikian juga, tekanan pasar modal, tempat para pemilik modal “mengendalikan” perusahaan farmasi, menekan perusahaan itu agar memeras semua sumber daya yang dimiliki (bilamana perlu pasien) untuk mendapatkan hak kekayaan intelektual untuk memonopoli produksi dan distribusinya dalam rangka mendapatkan penghasilan uang yang berlimpah. Maka benarlah sebuah hadits yang menyatakan sebaik-baik tempat adalah masjid, seburuk-buruk tempat adalah pasar. Nah, pada kasus kapitalisme ini, ideologi pasar menguasai seluruh aspek motivasi pengembangan dan pemasaran obat-obatan termasuk vaksin di dalamnya. Hal yang sama, ada peluang pengembangan obat herbal dan metoda pengobatan nabi didominasi oleh ideologi pasar. Hal ini sudah terlihat dari produk-produk tibun nabawi yang dipalsukan.
Hal kedua yang benar adanya adalah pada aspek fiqh syar’iyah dalam proses produksi dan pengembangan vaksin. Untuk aspek ini perlu kolaborasi yang mesra antara pakar hukum syariah dengan pakar kedokteran dan biologi molekuler, di satu sisi untuk memberikan judgement secara komprehensif dalam memberikan fatwa yang dibatasi waktu sebelum para ilmuwan muslim yang faqih dalam agama mampu menemukan obat-obatan yang memenuhi kriteria efektifitas medis dan syar’i secara bersamaan. Sisi lain pada aspek kedua, yang sudah disinggung, yaitu jiddiyah kompetensi dan keuangan para ilmuwan muslim yang faqih dalam agama untuk mengembangkan obat-obatan secara luas yang efektif dalam proses penyembuhan penyakit, aman, memenuhi secara syar’i dilakukan dengan kaidah niyat yang lurus, keyakinan akan hasil yang baik, dan mempertimbangkan segala aspek manfaat dan madharat secara luas dalam masyarakat.
Terakhir yang tidak kalah penting, karena menjawab judul utama dalam tulisan ini adalah apakah imunisasi itu efektif? Sebelum menjawab, saya meminta kepada pembaca membuka Al-qur’an Surah Annisa ayat 28, bahwa Allah SWT menjadikan kita sebagai makhluk yang lemah. Dari ayat kauliyah, kita adalah makhluk yang lemah, demikian juga ayat-ayat kauniyah juga akan mendapatkan kenyataan yang serupa.
Sebelum menikah saya pernah menderita varikokel, yakni semacam varises yang letaknya tepat di atas testis. Bila penyakit ini tidak di atasi akan mengganggu kesuburan pria dalam mendapatkan keturunan. Saya memeriksakan apa yang saya derita kepada dokter bedah urologi. Karena tahu saya pada waktu itu adalah calon dokter, beliau mengungkapkan akan melakukan tindakan operasi Palomo, sebagai tindakan terbaik yang ada pada saat itu. Saya bilang kepada dokter urolog tadi agar diberikan waktu untuk merenungkan berbagai kemungkinan sebelum saya menyetujui tindakan tersebut. Saya terkejut ketika membuka kepustakaan dan jurnal yang mendapatkan bahwa keberhasilan operasi Palomo untuk mengatasi varikokel adalah enam puluh tujuh persen atau hanya dua per tiga. Jadi dapat dikatakan dua dari tiga orang penderita varikokel yang dioperasi dengan metoda Palomo yang berhasil. Akhirnya dengan tekad dan tawakkal kepada Allah SWT saya memutuskan setuju untuk operasi Palomo. Alhamdulillah saya termasuk dua pertiga penderita yang berhasil, saat ini bisa menghamili istri dan membuahkan dua keturunan.
Untuk vaksinasi atau imunisasi? Saya termasuk orang yang berkeyakinan ada kebaikan dari imunisasi dan vaksinasi dalam mencegah terjadinya penyakit-penyakit yang mematikan seperti campak atau melumpuhkan seperti polio (otot-otot kaki lumpuh) atau yang melemahkan hingga mematikan seperti TBC dan hepatitis yang sudah masuk dalam daftar imunisasi dasar di negara kita. Untuk imunisasi dasar ini, perusahaan BioFarma BUMN milik pemerintah RI telah dipercaya sebagai produsen dunia untuk menyediakan vaksin-vaksin untuk keperluan imunisasi dasar ini. Kebaikan dalam pencegahan ini bisa diibaratkan seperti program pemakaian helm bagi pengendara sepeda motor yang sebenarnya pencanang program itu adalah dokter ahli bedah saraf yang melihat penyebab kematian karena kecelakaan lalu lintas bagi pengendara sepeda motor adalah trauma kepala. Memang kalau dilihat kasus per kasus yang ada di sekitar kita tidak kentara terlihat, tetapi secara komunitas dalam skala besar, pengaruh itu ada yaitu penurunan angka kematian akibat trauma kepala pada pengendara sepeda motor secara signifikan setelah pemakaian helm digalakkan. Dalam kasus imunisasi pun juga mendapatkan angka yang mirip. Sebagai contoh pada kasus cacar air, mereka yang terkena “kecelakaan” berinteraksi dengan virus cacar air, sembilan puluh persen mereka yang tidak memakai “helm” vaksinasi mengalami derajat sakit yang hebat dibandingkan pada kelompok yang memakai “helm” vaksinasi. Demikian juga pada kasus imunisasi BCG untuk mencegah seorang anak balita dari “kecelakaan” terkena hamburan kuman tuberkulosis lewat nafas dan batuk penderita, karena sudah memilki daya tahan terhadapnya. Karena dari penelitian skala luas (epidemiologi) didapatkan dua pertiga orang di dunia ini pernah mengalami “kecelakaan” kena hamburan kuman tuberkulosis dari orang-orang sekitarnya yang sementara waktu belum terlihat secara klinis penyakitnya.
Mengenai kegagalan imunisasi, efek samping, tentu saja ada sebagaimana yang telah saya ceritakan pada kasus operasi Palomo. Butuh jiddiyah ilmuwan muslim untuk mengembangkan imunisasi yang presisinya makin tajam, makin minim efek samping, dan yang lebih penting secara syar’i dapat dipertanggungjawabkan. Wallahua’lam. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar