Minggu, 15 Juli 2012

SAKIT KULIT KARENA “BENCI” PADA ISTRI


Seorang pria berusia 50 tahun datang di tempat praktik dengan keluhan perut sakit dan susah buang air besar. Sebelum diperiksa di bed, pasien saya persilakan duduk dulu di depan saya untuk dilakukan wawancara mengenai apa yang dia keluhkan. Sekilas pandang mengenai pasien ini adalah penampilan kulitnya yang kering, sekurus kering daging yang menutupi tulangnya. Warna kulit gelap, dan di beberapa bagian tubuhnya yang terlihat tampak menebal dan bersisik. Saya tidak menggali lebih lanjut permasalahan kulit yang beliau derita, karena merasa biasa-biasa saja. Jadi saya hanya fokus pada permasalahan perut dan memberikan pengobatan pada masalah perut tersebut.
Sekilas pandang, tidak ada permasalahan antara dia dan istrinya yang mengantarkannya pada waktu itu. Walaupun demikian saya punya firasat ada masalah dalam hubungan suami istri atau permasalahan lain yang demikian berat, tetapi saya belum mengetahuinya dengan pasti.
Selang beberapa waktu kemudian, istri dan anaknya menjadi pelanggan saya dengan mendatangi tempat praktik karena sakit ringan biasa seperti flu, atau diare dan semacamnya.
 Di sela-sela periksa itu saya mencoba memberanikan diri menanyai tentang beban psikologis yang dialami pasien kepada istrinya. “Ya ada dokter, ya begitulah” kata istri pasien memeriksakan dirinya karena suatu sakit yang ringan pada suatu kesempatan. Saya menangkap ada permasalahan keharmonisan suami istri, tetapi sang istri belum bisa asertif untuk mengutarakan permasalahannya. Dalam konteks konseling dan psikoterapi tahap saya adalah masih membangun rapor[1] dan mengeksplorasi permasalahan. Tetapi saya masih belum mendapatkan hasil seperti yang diharapkan, yaitu jelas sebab konfliknya, seberapa besar konflik tersebut mengganggu kehidupan mereka, dan apakah sumber konflik merupakan benturan nilai yang benar-benar mendasar antara suami istri tersebut.
Jawaban justru saya dapatkan dari anak-anaknya yang menginjak dewasa (usia SMA dan kulitah). Ternyata seperti yang saya duga, memang ada konflik yang mendasar antara suami istri tersebut. Menurut anak-anak mereka, walaupun bagi anak sebenarnya permasalahan sepele dalam hal urusan agama, tetapi bagi saya ini permasalahan serius karena ada perbedaan secara mendasar mengenai masalah keyakinan. Dari hasil eksplorasi permasalahan yang didapatkan dari anak-anak mereka, sama-sama beragama Islam, ada banyak aktivitas keagamaan istri di mata suami adalah aktivitas bid’ah atau jauh dari tuntunan agama. Sementara itu, makin hari, aktivitas istri yang dianggap bid’ah oleh suami itu makin menjadi. Tampak kesan bahwa suami memendam rasa tidak suka terhadap aktivitas istri, tetapi tidak terselesaikan dengan baik, sementara bagi istri aktivitas keagamaan yang dia lakukan tidak ada permasalahan mendasar.
Jadi permasalahan kulit menahun yang diderita oleh suami adalah akibat perbedaan mendasar antar aliran agama di kedua belah pihak. Bagi istri, itu bukan permasalahan yang mendasar, sementara bagi suami itu adalah permasalahan mendasar, sehingga mengganggu kesehatannya secara menyeluruh. Kesimpulannya tampak terlalu disegerakan ya? Bagaimana memahami dari problem psikoemosional menjadi penyakit fisik dalam hal ini kulit, insyaAllah akan dibahas di bagian “Mengapa emosi memengaruhi kesehatan?”.


[1] Rapor maksudnya adalah kepercayaan. Tujuan membangun kepercayaan adalah agar klien memercayai bahwa kita benar-benar orang yang dapat dipercaya untuk menyelesaikan permasalahannya. Hasil rapor yang baik ditandai salah satunya dengan pasien mengutarakan semua permasalahannya baik yang rahasia untuk diketahui orang lain maupun tidak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar