Seorang pasien pria umur 50 tahun datang ke tempat praktik
dengan keluhan letih dan lemas dalam satu bulan terakhir. Terus terang saya pangling dengan penampilan pasien bapak
ini. Tampak lebih kurus, walaupun ukuran tubuh sebelumnya tidak termasuk
golongan kegemukan (obesitas). Dan, mohon maaf tampak lebih tua dari usia
sesungguhnya. Yang saya ingat dari pasien bapak ini adalah dulu adalah orang
biasa maksudnya berprofesi sebagai makelar mobil, kehidupan sehari-harinya pas
pasan, tetapi kecukupan, beberapa tahun terakhir menjadi anggota DPRD dari
partai besar. Setelah menjadi anggota DPRD saya merasakan segala sesuatunya
berubah. Dari caranya bicara, caranya dia memperkenalkan diri dan memandang
saya sebagai dokter, terutama di ruang periksa.
“Saya anggota dewan dok” kata beliau dengan penuh percaya
diri, beberapa tahun yang lalu saat pertama mendapatkan jabatan itu, dalam
memulai dialog di tempat praktik.
“Dikasih obat yang paling bagus dok” juga kata beliau ketika
saya menuliskan resep untuk diri beliau atau saat mengantar anak atau istri
beliau.
......................................
Keadaan sore itu benar-benar berubah seratus delapan puluh
derajat. Wajahnya menjadi tirus, kusut, kulit lebih pucat, kelopak mata tampak
lebih cekung, dan ketika berbicara samar-samar tercium aroma kurang sedap.
“Saya kena diabetes dokter” kata beliau lirih
“Sejak kapan pak?” tanya saya
“Sudah setahun ini dokter” jawab beliau
“Mengonsumsi obat rutin kan pak?” tamua saya lagi
“Iya dokter, tapi tampaknya kadar gula darah saya ga mau
turun”
“Tapi bapak masih ngantor kan?” tanya saya
“Tidak dokter.... setahun yang lalu saya tidak terpilih
lagi, untuk yang kedua”
Saya mulai tertegun, dari kondisi berat badannya beberapa
tahun yang lalu ketika masih menjadi anggota DPRD, tampak tidak ada risiko dari
berat badannya. Kalau masalah rokok, beliau memang perokok. Kayaknya risiko
diabetes dari rokok....mungkin. Apakah mungkin, karena stressor tidak terpilih
lagi sebagai anggota dewan? Kalau iya, berarti bapak ini mengumpulkan dua atau
tiga risiko diabetes yaitu, merokok, kurang olah raga dan stressor psikososial
akibat tidak terpilih lagi menjadi anggota dewan. Saya teringat kasus ibu saya
yang menderita diabetes melitus, dulu pencetusnya adalah ketika kakak saya
kuliah di fakultas kedokteran swasta, dan membutuhkan biaya yang sangat besar.
Waktu itu orang tua kami memutuskan untuk menjual rumah tinggal sekaligus rumah
usaha ibu. Tampaknya bagi ibu saya itu adalah stressor yang amat berat.
Beberapa saat setelah itu, ibu mengeluhkan keluhan klasik diabetes mudah lapar
dan banyak makan, mudah haus dan banyak minum, dan sering buang air kecil.
Setelah periksa ke dokter dan diukur kadar gula darahnya mencapai 400 mg/dL. Memang
ibu saya waktu mengalami obesitas, berat badan mencapai 70 kg. Jadi ibu saya
waktu itu mengumpulkan dua risiko yaitu obesitas dan stressor psikososial.
Padahal usia ibu saya menderita diabetes melitus waktu itu masih 38 tahun. Usia
yang sangat muda untuk menderita diabetes melitus.