Minggu, 11 September 2011

Sekilas tentang Perilaku Merokok

Secara umum, gas yang membahayakan kesehatan tetapi paling sering dimasukkan orang lewat mulut secara sengaja adalah asap rokok[1]. Memang aneh ya? Dan anehnya dua kali! Pertama gas masuk lewat mulut, selanjutnya memasuki saluran nafas, paru-paru dan akhirnya memasuki pembuluh darah dan beredar ke seluruh tubuh. Aneh yang kedua adalah hasil “bakar-bakaran” kok bisa-bisanya dimasukkan ke dalam saluran paru yang senantiasa membersihkan dirinya melalui mulut. Rokok sebelumnya tidak dikenal dalam budaya Indonesia, kemudian dikenalkan oleh pemerintah Hindia Belanda melalui “pemaksaan” dan akhirnya diterima secara luas menjadi bagian dari budaya solidaritas masyarakat baik di pedesaan maupun di perkotaan. Di pedesaan menjadi sarana penghilang kecanggungan dan pengakraban ketika ada acara kondangan, yasinan dan berbagaimacam acara pertemuan lainnya tidak luput ada sajian rokok. Umumnya ditaruh dalam gelas minuman kemudian dibagikan kepada yang hadir. Di perkotaan juga demikian. Rokok dapat dijadikan sebagai simbol kedermawanan dengan saling berbagi rokok. Dengan diperkuat iklan dan industri, puncaknya rokok menjadi ciri identitas “suku-suku” tertentu dalam pergaulan masyarakat sesuai “bendera yang dikibarkan” oleh perusahaan pengiklan rokok. Mohon maaf bila terpaksa menyebutkan merek, dengan maksud untuk lebih dapat menjelaskan. Bagi kalangan muda yang berasal dari “suku” atau segmen yang mengunggulkan rasa solidaritas dalam “ciri suku” mereka yang dapat dikatakan dari suburban atau urban, dipilihlah rokok Sampurna Hijau atau saingannya gudang garam merah. Untuk mereka yang sukses, menunjukkan identitas diri mereka dengan memilih rokok dengan mereka Dji Sam Soe atau Gudang garam Eksklusif. Bagi mereka yang “unik”, terbukti dari pilihan mobilnya yang juga unik yakni VW atau skuter, memilih rokok Djarum Coklat, sebagai ciri identitas “suku” mereka. Sedangkan mereka yang merasa dari kelompok orang-orang “kreatif”, bila memilih rokok A Mild, sudah merasa bahwa mereka adalah sekelompok kecil orang yang “kreatif” dan “tampil beda” serta “bukan orang kebanyakan” yang mereka identikkan dengan iklannya yang “kreatif, tampil beda dan bukan sembarang orang”. Tetapi mereka, yang merasa sebagai kumpulan dari orang desa yang kreatif dan muda lebih memilih rokok sejati, sebagai cara menunjukkan jiwa kepahlawanan yang penuh kreativitas dan kedinamisan. Ada satu lagi yang lebih aneh, tetapi pencitraan ini sangat disukai, dan perokok yang menyembulkan bungkus rokok di sakunya, merasa bahwa dia adalah bagian dari keluarga koboi yang macho dan gagah berani. Dia adalah rokok Marlboro, yang perusahaan pemilik merek ini, beberapa waktu yang lalu membeli hampir seluruh kepemilikan perusahaan rokok empat generasi Sampurna.

“Suku-suku” ini sengaja diciptakan oleh tim kreatif manajemen merek rokok agar mereka mempunyai tempat yang unik dalam benak konsumennya. Padahal kalau mau jujur, barangkali bagi perokok yang obyektif, rasanya sama saja, ketika rokok itu tidak diberi label.

Yang lebih irasional adalah pada segmen remaja, apa pun merek rokok yang mereka pilih, perilaku merokok adalah simbol dari “pemberontakan” dan “anti status quo” serta “anti kemapanan”. Dengan merokok, mereka sudah merasa memiliki “kekuatan” dalam menentang para “pemilik otoritas” yaitu guru dan orang tua serta para sebaya mereka yang “sok alim”.

Inilah tantangan berat bagi si tukang kampanye sehat tanpa merokok. Si tukang kampanye ini menghadapi berbagaimacam “suku-suku” perokok yang berbeda-beda antara karakter “suku” yang satu dengan “suku” yang lain.

Tetapi bagi orang-orang sebaya di sekitar para perokok ini berarti dua macam :

1. Orang yang norak

Bila orang di sekitar mempunyai persepsi dan penilaian bahwa remaja perokok adalah norak atau “anti sosial”, biasanya mempunyai pengalaman positif terhadap proses-proses penanaman norma-norma yang dilakukan oleh pemilik otoritas “status quo” yang diperankan oleh guru dan orang tua si remaja. Saat ini ada kecenderungan di negara barat, sebagai akibat kampanye anti merokok, orang-orang di sekitar perokok mulai menjauhi melakukan interaksi lebih intens dengan mereka. Berarti para perokok ini dikategorikan sebagai orang yang norak. he he he mohon maaf kalau kebetulan Anda seorang perokok. Sekedar menyampaikan fakta, dalam buku “Connected” karya Nicholas A. Christakis dan James H Flower.[2] Buku “Connected” ini banyak sekali mengupas tentang karakteristik jaringan sosial dalam kehidupan manusia. Bagaimana bentuk jaringan sosial itu, siapa saja orang yang paling berpengaruh dalam jaringan itu, siapa saja yang berada di pusat jaringan dan siapa saja yang berada di pinggir jaringan. Bahkan perselingkuhan pun juga mempunyai jaringan, atau dalam buku Connected ini dikenal dengan nama “jaringan seksual”. Adanya jaringan seksual inilah yang menjadi sebab mengapa penyakit menular seksual seperti HIV/AIDS ini sulit ditanggulangi di negara-negara Afrika. Dalam buku itu disebutkan bahwa mereka yang menjalani kehidupan ini dengan dilabeli perokok oleh orang di sekitarnya, mereka semakin terkucil jauh di pinggiran jaringan sosial dalam komunitasnya.

2. Orang yang “cool” dan keren

Bila orang sekitar mempunyai persepsi positif terhadap remaja perokok, atau biasa dinyatakan dengan “cool” atau keren, biasanya orang-orang ini mempunyai pengalaman yang negatif dengan proses penanaman norma-norma yang dilakukan oleh pemilik otoritas “status quo”. Penelitian menyebutkan bahwa, mereka yang dibesarkan dalam suasana broken home lebih berisiko menjadi perokok pada usia yang lebih dini (dibawah 14 tahun) dan menjalani kehidupan permisif (melakukan seks pra nikah), disamping risiko yang lain terutama berkaitan dengan penderitaan masalah psikologis dan gangguan mental hingga perilaku bunuh diri.

Macam-macam rokok meliputi

- Rokok sigaret

Merupakan campuran antara tembakau, cengkeh, berbagai macam rempah yang diramu dalam suatu komposisi yang merupakan rahasia perusahan pembuatnya dan dikenal dengan nama saus rokok. Saus rokok inilah, yang menurut para penggemar rokok membedakan cita rasa satu perusahaan rokok dengan lainnya. Aromanya pun lebih enak (tentunya saat sebelum dibakar, tetapi bila dibakar rasanya tetap asap) campuran tembakau, cengkeh, dan rempah-rempah lainnya. Ini adalah format rokok khas Indonesia yang tidak didapati di negara manapun di dunia. Setelah dibakar, konon kandungan racunnya lebih berbahaya ketimbang rokok yang hanya berisi tembakau. Sehingga sebagian negara maju melarang keras import rokok jenis ini.

Diantara karyawan perusahaan rokok, karyawan yang meracik saus inilah yang mungkin gajinya bisa bersaing dengan jajaran pimpinan perusahaan.

- Rokok tembakau

Secara fisik bentuknya sama dengan rokok kretek, lintingan kertas putih membungkus serbuk kering berwarna kecoklatan. Yang membedakan adalah kandungan serbuk kering tersebut. Bila rokok kretek, serbuk kering kecoklatannya adalah campuran daun tembakau, cengkeh, kayu manis dan rempah-rempah lainnya (tentu saja sudah dalam keadaan kering), pada rokok tembakau hanya berisi daun tembakau saja. Seringkali rokok tembakau ini dikenal dengan nama rokok putih.

- Cerutu

Kalau dua jenis rokok di atas pembungkusnya adalah kertas yang berwarna putih, lain halnya dengan cerutu, pembungkusnya adalah daun tembakau sendiri. Karena pembungkusnya daun tembakau yang kering, berarti kualitas daun tembakau yang digunakan haruslah di atas rata-rata. Karena bila kualitas tidak baik, bungkus yang digunakan akan rapuh, sehingga tidak bisa digunakan. Dengan karakteristik seperti inilah yang membuat cerutu lebih mahal. Di samping itu merokok dengan menggunakan cerutu, bagi si perokok akan menampilkan atau mencitrakan bahwa dirinya adalah orang yang berkelas, bukan orang sembarangan.

Inilah keanehan manusia lagi. Untuk menunjukkan bahwa dirinya orang berkelas, tidak saja lewat mobil, pakaian, sepatu ataupun rumah, tetapi juga jenis “racun” yang dipilih juga harus yang berkelas juga. Memang aspek emosi manusia itu tidak rasional dan tidak dapat dilogika.



[1] Untuk pembahasan lebih detil mengenai pembahasan bahaya merokok dan kandungan berbahaya asap rokok dapat dilihat dalam buku “Menjadi Dokter Pribadi di Rumah Sendiri” karya dr. Yusuf Alam Romadhon yang diterbitkan oleh Hasanah Media

[2] Nicholas A. Christakis and James H. Flower; Edisi Indonesia, Connected; Dahsyatnya Kekuatan Jejaring Sosial Mengubah Hidup Kita; Penerbit Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar