11. Perilaku kurang
gerak seperti menonton TV atau game 3
– 4 jam sehari, jarang beraktivitas rumah tangga, jarang atau tidak pernah
jalan kaki.[1]
Di Indonesia perilaku aktif olahraga hanya dilakukan oleh 6% orang yang berusia
di atas 15 tahun.[2] Saya sendiri kebetulan bekerja di
bagian kesehatan masyarakat dan kedoktera keluarga, pernah melakukan survei
tentang perilaku nonton TV, tidak sedikit saya menjumpai ibu-ibu rumah tangga
nonton TV delapan jam sehari! Kayaknya nonton TV dari sinetron ke sinetron.
Perilaku yang hampir mirip untuk anak remaja dalam konteks sekarang, adalah
media sosial seperti facebook, twitter dan semacamnya serta game-game on line memperbanyak aktivitas remaja untuk
duduk, kurang aktivitas olah raganya.
22. Minum jus buah setiap hari.[3] Sepintas lalu makan atau minum jus
identik dengan serat tinggi, tetapi yang sering dilupakan adalah kandungan gula
di jus tersebut. Secara mendasar terdapat buah-buahan yang mengandung gula
lebih tinggi seperti mangga, jeruk, dan rambutan.
33. Makan gorengan setiap hari, minum soft drink non diet, mengonsumsi western fast food lebih dari sekali per minggu, mengonsumsi permen
dan kripik kentang ³ 1x seminggu, mengonsumsi mie instan ³ 1x seminggu bagi
anak laki-laki.[4] Untuk
kasus soft drink, saya mempunyai
pengalaman seorang wanita usia 50an tahun sebenarnya tidak termasuk gemuk dalam
pandangan mata, tetapi yang menarik adalah beliau tersebut kadar trigliseridanya
selalu tinggi terus. Belakangan baru ketahuan, ternyata beliau mengonsumsi soft
drink minimal satu botol sehari. Untuk menyuplai kebutuhannya tersebut, beliau
menyediakan lebih dari dua krat minuman soft drink.
44. Membeli makan siang di sekolah.[5] Permasalahan jajan di sekolah adalah
pengendalian jenis makanan yang disajikan dan pengendalian jumlah makanan yang
dikonsumsi oleh anak. Jenis makanan yang dijajakan serta kualitas makanan ini
harus menjadi perhatian utama sekolah atau dinas kesehatan lewat puskesmas.
Pekerjaan tersulit adalah melakukan pembinaan dengan output bahwa penjaja makanan anak sekolah memperbaiki kualitas
makanan yang dijajakan. Permasalahan selanjutnya yang timbul membantu
kreativitas penjual makanan yaitu menyajikan makanan berkualitas, mengundang
selera makan anak tetapi dari bahan-bahan alami yang murah. Dalam hal
pengendalian nutrisi bagi anak sekolah harus memperhatikan keseimbangan, jangan
sampai anak mengalami nutrisi kurang atau nutrisi berlebih, dua-duanya tidak
baik bagi kesehatan anak. Nutrisi kurang berdampak buruk bagi tumbuh kembang
anak, nutrisi lebih membuat makanan menjadi “racun” yang membuat anak saat
menjadi dewasa lebih berisiko menderita penyakit degeneratif lebih dini dari
yang seharusnya.
5. Konsumsi serat yang kurang, di Indonesia konsumsi serat rata-rata 10 gr/hari, jauh lebih
rendah dari kecukupan sebesar 30 gr/hr.[6] Seorang teman
sejawat yang ahli gizi memberikan gambaran yang sederhana untuk menunjukkan
ukuran kebutuhan serat bagi kita setiap harinya. Beliau mengatakan bahwa,
setiap makan, kebutuhan serat ditunjukkan dengan sayur (ampasnya bukan kuahnya)
jumlahnya adalah dua pertiga gelas air minum dalam kemasan setiap kali kita
makan. Lebih lanjut, beliau menjelaskan serat dibagi dua golongan yaitu serat tidak
larut seperti yang terdapat dalam sayur-sayuran berfungsi protektif terhadap
kanker kolon, selanjutnya serat larut seperti yang terdapat dalam buah-buahan,
rumput laut dan agar-agar, mempunyai fungsi membantu menghambat penyerapan
kolesterol di dalam usus.
[1] Power, C., Jefferis, B.J.M.H (2002) Fetal environment and subsequent
obesity: a study of maternal smoking, Int
J Epid, 31:413 – 419
[3] Tanasescu,
M, Ferris, A.M., Himmelgreen,D.A., Rodriguez N., Escamilla, R.P., (2000)Biobehavioral Factors Are Associated with Obesity in Puerto Rican
Children, J. Nutr. 130:1734–1742
[4] Hilsen, M.,
Eikemo, T.A., Bere, E., (2010) Healthy
and unhealthy eating at lower secondary school in Norway, Scand J
Public Health 38: 7
[5] Veugelers, P.J., Fitzgerald, A.L (2005) Prevalence
of and risk factors for childhood overweight and obesity, CMAJ;173(6):607-13