Seorang pria berusia 50 tahun datang di tempat praktik
dengan keluhan perut sakit dan susah buang air besar. Sebelum diperiksa di bed,
pasien saya persilakan duduk dulu di depan saya untuk dilakukan wawancara
mengenai apa yang dia keluhkan. Sekilas pandang mengenai pasien ini adalah
penampilan kulitnya yang kering, sekurus kering daging yang menutupi tulangnya.
Warna kulit gelap, dan di beberapa bagian tubuhnya yang terlihat tampak menebal
dan bersisik. Saya tidak menggali lebih lanjut permasalahan kulit yang beliau
derita, karena merasa biasa-biasa saja. Jadi saya hanya fokus pada permasalahan
perut dan memberikan pengobatan pada masalah perut tersebut.
Sekilas pandang, tidak ada permasalahan antara dia dan
istrinya yang mengantarkannya pada waktu itu. Walaupun demikian saya punya
firasat ada masalah dalam hubungan suami istri atau permasalahan lain yang
demikian berat, tetapi saya belum mengetahuinya dengan pasti.
Selang beberapa waktu kemudian, istri dan anaknya menjadi
pelanggan saya dengan mendatangi tempat praktik karena sakit ringan biasa
seperti flu, atau diare dan semacamnya.
Di sela-sela periksa
itu saya mencoba memberanikan diri menanyai tentang beban psikologis yang
dialami pasien kepada istrinya. “Ya ada dokter, ya begitulah” kata istri pasien
memeriksakan dirinya karena suatu sakit yang ringan pada suatu kesempatan. Saya
menangkap ada permasalahan keharmonisan suami istri, tetapi sang istri belum
bisa asertif untuk mengutarakan permasalahannya. Dalam konteks konseling dan
psikoterapi tahap saya adalah masih membangun rapor[1] dan
mengeksplorasi permasalahan. Tetapi saya masih belum mendapatkan hasil seperti
yang diharapkan, yaitu jelas sebab konfliknya, seberapa besar konflik tersebut
mengganggu kehidupan mereka, dan apakah sumber konflik merupakan benturan nilai
yang benar-benar mendasar antara suami istri tersebut.
Jawaban justru saya dapatkan dari anak-anaknya yang
menginjak dewasa (usia SMA dan kulitah). Ternyata seperti yang saya duga,
memang ada konflik yang mendasar antara suami istri tersebut. Menurut anak-anak
mereka, walaupun bagi anak sebenarnya permasalahan sepele dalam hal urusan
agama, tetapi bagi saya ini permasalahan serius karena ada perbedaan secara
mendasar mengenai masalah keyakinan. Dari hasil eksplorasi permasalahan yang
didapatkan dari anak-anak mereka, sama-sama beragama Islam, ada banyak
aktivitas keagamaan istri di mata suami adalah aktivitas bid’ah atau jauh dari
tuntunan agama. Sementara itu, makin hari, aktivitas istri yang dianggap bid’ah
oleh suami itu makin menjadi. Tampak kesan bahwa suami memendam rasa tidak suka
terhadap aktivitas istri, tetapi tidak terselesaikan dengan baik, sementara
bagi istri aktivitas keagamaan yang dia lakukan tidak ada permasalahan
mendasar.
Jadi permasalahan kulit menahun yang diderita oleh suami
adalah akibat perbedaan mendasar antar aliran agama di kedua belah pihak. Bagi
istri, itu bukan permasalahan yang mendasar, sementara bagi suami itu adalah
permasalahan mendasar, sehingga mengganggu kesehatannya secara menyeluruh. Kesimpulannya
tampak terlalu disegerakan ya? Bagaimana memahami dari problem psikoemosional
menjadi penyakit fisik dalam hal ini kulit, insyaAllah akan dibahas di bagian “Mengapa
emosi memengaruhi kesehatan?”.
[1] Rapor
maksudnya adalah kepercayaan. Tujuan membangun kepercayaan adalah agar klien
memercayai bahwa kita benar-benar orang yang dapat dipercaya untuk
menyelesaikan permasalahannya. Hasil rapor yang baik ditandai salah satunya
dengan pasien mengutarakan semua permasalahannya baik yang rahasia untuk
diketahui orang lain maupun tidak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar