Al-Tirmidzi
meriwayatkan dari Al-Miqdam bin Ma’di Karib yang mendengar Rasulullah SAW
bersabda, “Perbuatan manusia yang paling jelek dalam memenuhi bejana adalah
memenuhi perut. Karena manusia cukup memakan beberapa suap untuk menguatkan
tulangnya. Jika tidak memberatkan, sebaiknya sepertiga untuk makanan, sepertiga
untuk minuman, dan sepertiga untuk udara (napas). Al-Tirmidzi berkomentar,
“hadits ini berkualitas hasan sahih,”
Ibnu Majah
dalam kitabnya juga meriwayatkan dari Al-Miqdam bin Ma’di Karib yang mendengar
Rasulullah SAW bersabda, “Perbuatan manusia yang paling jelek dalam memenuhi
bejana adalah memenuhi perut. Manusia cukup memakan beberapa suap untuk
menguatkan tulangnya. Jika ia mampu mengendalikan diri, sebaiknya sepertiga
untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk udara (napas).”
Dari perut bermula munculnya penyakit
Dalam
sebuah seminar tentang kedokteran ada sebuah pernyataan menarik dari pembicara
yang merupakan dokter spesialis jantung dan sudah menyandang gelar doktor dan
profesor. Pernyataan yang sekaligus pertanyaan dari sang Profesor itu adalah
“bagaiaman Anda tahu kalau Anda mengalami obesitas dalam waktu kurang dari satu
menit?” Sang Profesor diam sejenak, memberi kesempatan kepada audiens untuk
berpikir. “Gimana? Sudah dapat jawabannya?” Kemudian beliau melanjutkan
ucapannya, “caranya mudah... cukup Anda berdiri tegak, kemudian lirik ke bawah,
kemudian Anda perhatikan apakah kaki Anda masih bisa terlihat jelas?” “Kalau Anda masih bisa melihat jelas kaki
Anda berarti Anda bukan seorang yang mengalami obesitas, tetapi bila tidak itu
tandanya Anda mengalami obesitas.” Hening sejenak... kemudian serentak audiens
tertawa lepas “ha ha ha ha”. Ternyata setelah saya bayangkan sendiri, bila
perut kita gendut, maka saat melirik ke bawah, jelas kaki kita tidak akan
terlihat karena terhalang pandangannya oleh perut kita yang membuncit.
Seminar
tersebut sedang membicarakan perkembangan terkini penanganan penyakit jantung
koroner, dan obesitas merupakan faktor risiko terkuat dan termasif saat ini,
karena di berbagai belahan dunia saat ini menghadapi permasalahan yang sama
yaitu “wabah” kegemukan.
Bila saya track back pengalaman hidup saya, saat
masih kanak-kanak hingga remaja, saya masih ingat betul, bagaimana ibu saya
mengelola makanan buat kami sekeluarga. Buat keluarga saya waktu itu, satu
butir telor, dicampur dengan tepung, air dan sayuran dan bumbu-bumbu yang lain,
ternyata cukup untuk lima orang anaknya. Keadaan ini berbeda dengan pengalaman
yang dialami anak-anak saya saat ini, sekali porsi makan satu butir telor
sendiri tidak dibagi, sehari tiga kali. Ketika pertemuan dengan sesama teman
sejawat, atau saat pertemuan RT, atau pertemuan-pertemuan lainnya yang
merupakan kesempatan sharing berbagai hal dan melakukan saling cocok-cocokkan,
ternyata mempunyai pengalaman yang serupa. Pemenuhan kebutuhan telor atau
protein dan lemak bagi keluarga kita saat ini tidak sekedar memenuhi kebutuhan
dasar, melainkan berlimpah-limpah.
Dampaknya
secara umum dalam masyarakat yang lebih luas, dibandingkan dengan saat saya
masih SD ataupun SMP hingga SMA, sangat jarang dijumpai orang gendut. Tetapi
sekarang, orang gendut relatif sering dijumpai. Kalau ditelusuri lebih lanjut
data-data dari berbagai artikel jumlah orang gendut atau seperti istilah yang
disebut di atas yaitu obesitas, jumlahnya terus meningkat dalam beberapa dekade
terakhir. Jadi dapat dikatakan meluasnya “wabah” obesitas yang berdampak pada
berbagaimacam penyakit degeneratif seperti diabetes melitus, penyakit jantung
koroner, stroke dan komplikasi yang menyertainya semuanya berasal dari
manajemen perut yang salah karena pola makan yang dikonsumsi tidak berimbang.
Sebagaimana
yang ditulis oleh Malcolm Gladwell[1],
fenomena lain yang dikaitkan dengan konsumsi lemak berlebih pada anak-anak
menjelang remaja putri, adalah usia pertama menstruasi atau orang medis biasa
menyebutnya dengan menarche, menjadi semakin lebih muda. Dalam buku “What the
Dog Saw” tersebut Malcolm Gladwell menceritakan seorang pakar kedokteran yang
bernama Strassman yang menyelidiki pola menstruasi wanita pada suku Dogon di
Mali Afrika. Dalam usahanya untuk mendalami perilaku dan sikap suku itu
terhadap menstruasi wanita, sengaja Strassman dan rekannya menginap dan berbaur
dengan kehidupan sehari-hari suku itu dalam periode waktu tertentu hingga ia
mendapatkan informasi yang utuh dan memadai. Strassman terselamatkan dari hidangan
istimewa suku itu yaitu memakan tikus panggang, yang digambarkan bagaimana
kumis tikus itu hangus. Dalam kepercayaan suku itu, orang asing tidak boleh
makan makanan suku asli, sehingga dia terbebas dari “kewajiban” memakan tikus panggang.
Kembali
pada penyelidikan sikap suku Dogon terhadap menstruasi pada wanita. Terlepas
dari apa pun alasannya, dalam suku Dogon, setiap wanita yang sedang menstruasi
dikumpulkan dalam satu rumah khusus. Jadi wanita yang sedang menstruasi dalam
berbagai usia pada saat malam tidur di rumah khusus itu hingga pagi harinya.
Pola ini terus berlangsung hingga menstruasi mereka berhenti. Keadaan ini
membuat Strassman lebih mudah melakukan interview, mengumpulkan sampel air
kencing serta mencatat segala sesuatu yang berkaitan dengan menstruasi pada
suku Dogon tersebut. Yang menarik dari hasil pengamatan Strassman, di suku
Dogon, rerata menstruasi pertama pada usia sebelas tahun, dan seumur hidupnya
wanita suku Dogon mengalami menstruasi seratus kali. Keadaan ini berbeda dengan
yang didapati di barat dengan pola makan lebih banyak lemak dalam makanannya,
dimana menarche (menstruasi untuk
pertama kali) pada usia lebih muda yaitu usia 9 tahunan, dan sepanjang hidupnya
mengalami menstruasi sebanyak tiga ratus lima puluh sampai empat ratus kali. Lebih
lanjut pola menstruasi seperti di barat meningkatkan risiko kanker rahim,
kanker payudara dan kanker indung telur.
Jadi secara
sederhananya dapat dikatakan pola menstruasi barat yang meningkatkan risiko
kanker rahim, kanker indung telur dan kanker payudara berawal dari kesalahan
manajemen perut karena memasukkan makanan yang tidak berimbang.
Mengejar untung dengan “meracuni” makanan
Selanjutnya
dikatakan bahwa, perut merupakan organ yang berbentuk bejana yang terus saja
menerima berbagai macam benda atau zat yang dimasukkan kepadanya. Akhir-akhir
ini dalam industri makanan berbagai macam essence
membuat makanan yang dihasilkannya menjadi menarik dan meningkatkan cita rasa
dan selera makan. Namun sayangnya banyak perusahaan yang nakal memasukkan
bahan-bahan makanan yang membahayakan ke dalam makanan yang dijual. Demi
mengejar keuntungan besar sebagian perusahaan yang bergerak dalam usaha makanan
menyediakan bahan makanan yang berkualitas rendah kedalam produk makanan
mereka. Sebagian memasukkan pewarna tekstil yang murah tetapi menghasilkan
warna yang menggugah selera ke dalam makanan. Sebagian lagi memasukkan pemutih
atau pencerah makanan ke dalam makanan gorengan sehingga gorengan berkesan
bersih dan cerah. Sebagian lagi dalam produksi memasukkan bahan-bahan yang
tidak layak untuk dikonsumsi manusia, seperti udang busuk yang sudah ditumbuhi
larva lalat, menambah dedak, atau formalin dan boraks. Bahkan rokok pun yang
jelas merugikan kesehatan tidak luput dengan pemakaian essence dalam racikan sausnya. Ironisnya semua ini termasuk makanan
yang disukai, dan masih kurangnya pendidikan kesehatan mengenai bahaya makanan
yang berkualitas rendah seperti itu.
Berkaitan
dengan essence ini, saya memunyai
pengalaman menarik. Di suatu siang yang sangat terik, saat itu saya sedang
menunggu perbaikan sepeda motor saya di bengkel resmi merek perusahaan
penghasil sepeda motor itu. Kebetulan bengkel itu berada di dekat orang yang
berjualan es dan dekat dengan sebuah sekolah menengah kejuruan. Karena suasana
panas, saya tergoda untuk membeli es degan yang dijajakan oleh penjual es
tersebut. Saya meneguk pada tegukan pertama, terasa ada yang aneh dari rasa es
degan tersebut. Aroma vanila dari sirup memang sedap, tetapi saat merasuki
sela-sela serabut lidah, terasa sensasi pahit dan aneh. Tapi saat itu tetap
saya teruskan minum hingga tetes terakhir. Kemudian pulang menjalani kehidupan
seperti biasa. Malam harinya baru terasa, tenggorokan sakit buat menelan, badan
demam dan pegel-pegel. Pendek cerita saya menderita radang tenggorokan dengan
sebab essence rasa manis dari es
degan yang saya konsumsi di siang harinya.
Pada
makanan sehat pun juga tidak luput dari pengelolaan makanan yang berkualitas
rendah. Secara alami sayuran yang dibudidayakan manusia tidak luput dari hama serangga.
Untuk itu diperlukan obat-obatan dalam bentuk semprotan untuk membasmi
serangga. Dengan alasan lebih murah sebagian petani atau produsen produk-produk
pertanian disinyalir masih menggunakan DDT sebagai pestisida / pembunuh
serangga. Yang menjadi keprihatinan kita adalah bahwa waktu paruh DDT ini lebih
dari lima tahun bahkan masih bisa bertahan dalam tubuh manusia hingga puluhan
tahun. Karena karakteristiknya yang seperti itu, maka seseorang yang mengonsumsi
sayuran dan masih mengandung sisa DDT dalam sayuran pada tubuhnya dalam jangka
waktu yang panjang akan terakumulasi DDT yang mungkin dalam dosis membahayakan
kesehatan tubuh. DDT yang lama masih belum terurai, terus dan terus ditambah
DDT baru sebagai akibat konsumsi sayur atau buah-buahan yang mengandung sisa
DDT.
Di dunia peternakan pun sebagai sumber makanan
hewani yang dikonsumsi manusia saat ini tidak luput dari hal-hal yang berbau
instan dan serba cepat. Saya bisa berkata demikian, karena bapak saya juga
beternak ayam broiler atau ayam
potong. Kalau mau jujur ayam broiler
atau ayam potong yang siap dikonsumsi ini dari sudut pandang usia, termasuk
dalam kategori ayam “anak-anak”. Dikatakan “anak-anak” karena kalau dibiarkan
terus hidup dalam arti tidak disembelih, dalam usia dua tahun tinggi ayam ini
bisa mencapai satu meter. Karena “dikejar jam tayang” agar pada usia tiga bulan
bisa dipanen, sedangkan ayam ini masih kanak-kanak yang belum sempurna sistem
pertahanan tubuhnya, pada saat yang sama mereka dibesarkan tanpa asuhan induk,
maka harus dijaga ketat kesehatan dan ketahanan tubuhnya. Untuk itu anak-anak
ayam ini digelontor dengan multivitamin, diberi antibiotik bila sakit, bahkan
keadaan ini masih terus dipertahankan saat siap “dipanen”. Dapat dibayangkan
dalam tubuh anak ayam yang disembelih ini masih terdapat sisa antibiotik dan
multivitamin “dosis tinggi”, kemudian dikonsumsi manusia. Walaupun saya belum
menjumpai penelitian yang mengukur dosis antibiotik atau multivitamin dalam
darah manusia yang mengonsumsi ayam “instan” potong ini, secara logika dapat
dikatakan mengonsumsi ayam “instan” potong dalam taraf tertentu sama dengan
mengonsumsi antibiotik dan multivitamin. Namun demikian, belum jelas data
mengenai dampaknya pada kesehatan manusia secara luas.
Sikap tidak bertanggung jawab terhadap perutnya
sendiri
Suatu malam
tiga orang laki-laki yang sudah akrab menjalankan aktivitas rutin mereka untuk
menghabiskan malam nan larut hingga pagi hari. Malam itu begitu berbeda dengan
malam-malam sebelumnya. Bila malam-malam sebelumnya aktivitas perjudian mereka,
yang dipertaruhkan adalah sejumlah uang atau barang-barang berharga lainnya,
terkadang bila perlu mengambil barang berharga yang esok harinya membuat
beberapa tetangga mengeluh kehilangan barang karena dicuri. Tetapi malam itu,
yang mereka pertaruhkan adalah meminum tape
olie. Tape olie? Mungkin anda
sama dengan saya terkejut mendengar tape
olie diminum. Yah itulah kenyataannya. Pagi harinya seluruh desa dibuat
heboh, terperanjat dan tidak percaya dengan yang terjadi. Dua orang dari mereka
tewas, sementara satu orang bisa terselamatkan atas izin Allah SWT, walaupun
harus dirawat di bagian perawatan intensif / Intensive Care Unit (ICU) selama
beberapa hari. Satu orang yang lolos dari peristiwa maut itu, setahun
berikutnya tidak dapat lolos dari maut, ketika sebuah truk besar blong remnya
sehingga terhempas ke kanan dan kiri melibas tiang traffic light termasuk satu orang yang sebelumnya lolos dari maut
minum tape olie.
Barusan,
kita lihat contoh ekstrim orang yang tidak bertanggung jawab terhadap perutnya
sendiri. Dalam taraf yang lebih ringan, masing-masing kita minimal memulai
dengan penuh kesadaran ketika akan mengonsumsi sesuatu makanan atau minuman dan
dampaknya bagi kesehatan dirinya baik dalam jangka pendek maupun jangka
panjang. Bagaimanapun juga tubuh kita memunyai hak sekaligus kewajiban kita
untuk memenuhinya, karena ia akan dipertanggungjawabkan kelak di hari
pembalasan.
[1] Malcolm
Gladwell; 2009; What the Dog Saw and other adventure; edisi Indonesia, 2010
What the Dog Saw dan Petualangan-petualangan Lainnya, Penerbit PT Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta
mengerikan juga ya pak..
BalasHapuslalu makanan apa dong yg aman dari additif / esens itu, krn apa2 sudah tidak alami lagi :(