Mohon maaf ini tampaknya judul provokatif.
Maksud saya hanya ingin meluruskan
beberapa persepsi yang keliru baik tibun nabawi sendiri maupun kedokteran barat
di sisi yang lain. Sebagian persepsi yang keliru pada pihak tibun nabawi bahwa
ini adalah metoda pengobatan yang kuno dan tidak relevan lagi dan “dipaksakan
keilmiahannya” di satu sisi, pada sisi yang lain kedokteran barat diidentikkan
dengan pengobatan kimiawi artifisial yang “mengganggu keseimbangan dalam tubuh”
dan sebagainya.
Kalau boleh saya mendefinisikan
tentang tibun nabawi adalah suatu sistem pengobatan terdiri dari unsur-unsur
syari’at Islam yang bersifat tetap, dipadukan dengan unsur-unsur konseptual dan
teknis pengobatan yang disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang mutakhir. Jadi ada dua komponen utama yaitu komponen tetap yang
tidak berubah hingga kiamat adalah komponen syari’at Islam dan komponen
fleksibel yang bisa jadi mengadopsi konsep dan teknologi terkini yang ada pada
masyarakat ilmiah kedokteran dan kesehatan modern atau barat. Sayangnya,
akhir-akhir ini tibun nabawi sering dipersepsi dalam arti yang sempit meliputi
bekam, obat-obatan herbal dari arab dan madu.
Kedokteran barat yang “berkuasa” saat
ini sebenarnya mengadopsi konsep ilmu dan teknologi dari kemajuan perkembangan
pengobatan terbaik yang diperoleh dari berbagai belahan daerah di seluruh
penjuru dunia seiring banyaknya tanah jajahan yang mereka kuasai. Tidak sedikit
obat-obatan yang dipakai dalam kedokteran barat yang berasal dari “sari-sari”
tanaman Amerika latin, termasuk yang negatif rokok hingga narkoba. Sebagai
contoh “sari” atau biasa dikenal ekstrak beladona yang digunakan untuk
mengatasi gerakan peristaltik usus yang demikian cepat berakibat diare dan
mules. Beladona adalah jenis tanaman obat yang biasa dipakai oleh suku Indian
untuk mengatasi mencret. Demikian juga ganja, sebenarnya didapatkan dari
kebiasaan suku Indian mengunyah-ngunyah tanaman itu untuk obat kecapean. Tetapi
oleh barat, “sari” tanaman ini dimurnikan dijadikan obat-obatan penenang dan
obat bius yang belakangan banyak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak
bertanggung jawab. Demikian pula dengan rokok yang saat ini dikampanyekan
dampak negatifnya juga berasal dari kebiasaan suku Indian. Bahkan konsep
tentang sanitasi seperti saluran air bersih dan pengelolaan limbah termasuk WC
peradaban barat tidak patut melupakan jasa kemajuan peradaban umat Islam waktu
itu. Jadi kalau dibuat perumpamaan kedokteran barat seperti sebuah pohon,
dimana akarnya menjalar dari berbagai belahan dunia mengambil sari-sari terbaik
untuk membangun bagian-bagian pohon tersebut untuk terus tumbuh menjulang ke
atas.
Meskipun demikian, ilmu dan teknologi
kedokteran barat terus maju berkat riset yang berkelanjutan dari zaman mereka
mulai tercerahkan setelah berinteraksi dengan Islam pasca perang salib hingga
saat ini. Hanya sayangnya, ideologi yang mendasari ilmu dan teknologi
kedokteran itu adalah ideologi sekuler dan penyerahan arah perkembangan sepenuhnya
kepada pasar terutama pasar modal dan keuangan. Sehingga salah satu dampaknya
adalah memunculkan “bualan janji” semua bisa diatasi dengan ilmu dan teknologi
kedokteran modern sebagai bentuk dari pengaruh sekuler, dan kesenjangan yang
curam antara pundi-pundi keuangan perusahaan farmasi dengan manfaat kesehatan
yang dirasakan oleh masyarakat miskin dan dhuafa sebagai dampak dari tekanan
pasar (kapitalisme) pada perusahaan-perusahan pemroduksi obat. Akibatnya banyak
orang sakit yang putus asa dan stress karena apa yang “dijanjikan” yakni
kesembuhan dan kesempurnaan tidak kunjung datang. Dampaknya banyak pasien yang
minta “dibunuh” dengan penghalusan bahasa eutanasia kepada dokter karena sudah
tidak kuat lagi menahan penderitaan sakit. Tidak sedikit pula dokter dengan
mencari-cari alasan filosofis etis, akhirnya mendapatkan “pembenaran” melakukannya.
Sementara di belahan dunia yang lain banyak orang yang tidak mendapatkan
fasilitas pengobatan yang seharusnya mampu mengentaskannya dari penderitaan
sakit, lantaran obat yang seharusnya dibutuhkan tidak dapat diraih disebabkan
hak paten terlalu angkuh untuk direngkuh harganya, bahkan negaranya pun juga
tidak mampu membelinya. Sehingga saat ini mulai muncul arus dari masyarakat
mencari alternatif-alternatif pengobatan yang tidak menggunakan sistem
kedokteran barat. Namun sayangnya, tidak sedikit pula masyarakat yang tertipu
setelah menghabiskan berjuta-juta uang, ternyata juga tidak kunjung pulih dan
sehat kembali. Belum lagi ancaman penyelewengan akidah dari pengobatan
alternatif itu menjadi beban berat tersendiri bagi kaum muslimin.
Memahami sehat dan
sakit antara Islam dengan Barat
Makna sehat secara komprehensif dari
Barat baru disadari akhir-akhir ini kurang lebih pada dekade 90-an abad 20
kemarin. Kalau menilik definisi sehat yang dipublikasikan oleh WHO (World
Health Organization), yakni suatu keadaan yang baik (well being) yang tidak saja bebas dari penyakit, tetapi juga
meliputi aspek mental dan kenyamanan dalam menjalankan norma-norma sosial yang
ada di masyarakat.
Pandangan mengenai penanganan sakit dalam
Islam lebih luas dan lebih komprehensif bahkan menyentuh sampai pada tataran
amalan hati, dengan pertanyaan apakah hati mereka telah sakit atau dalam
hatinya ada penyakit (QS An-Nur: 48 – 50; QS Al-Ahzab: 32). Sementara itu sakit
fisik menjadi bahasan hingga pada ibadah-ibadah tertentu ada dispensasi
pengerjaannya bila sakit. Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa walaupun
kedokteran barat telah membuat batasan sehat dalam cakupan lebih luas, namun
tetap saja belum menyentuh sisi amalan hati apalagi yang berkenaan dengan
ketauhidan.
Bagaimana mengambil
sikap?
Harus diakui bahwa kedokteran barat
mempunyai keunggulan dalam penanganan infeksi seperti telah ditemukannya
antibiotik, antivirus, antiparasit dan antimikroba, demikian juga dengan
traumatologi dengan teknik-teknik pembedahan yang tidak sedikit perannya dalam
menyelamatkan nyawa. Namun di sisi lain, penyakit-penyakit degeneratif dan
kronis, dimana kedokteran barat “kewalahan” membuat peluang masih terbuka lebar
bagi sistem-sistem pengobatan lainnya untuk memberikan kontribusinya. Untuk hal
ini, WHO memberi ruang dalam sistem kedokteran modern dengan istilah kedokteran
komplementer. Hanya saja yang dominan saat ini masih akupunctur dan pengobatan
lainnya dari Cina. Tibun nabawi juga mengambil sisi positif kemajuan kedokteran
barat seperti penggunaan jarum-jarum dari baja stainless yang telah
tersterilisasi dengan sempurna, sehingga pasca penusukan tidak menambah infeksi
pada kulit. Demikian juga, ini sekaligus tantangan bagi kita untuk
“mengobyektivikasi” pengobatan sistem tibun nabawi agar bisa diterima secara
luas di kalangan masyarakat ilmiah kedokteran. Beberapa tanaman tradisional
Indonesia telah mendapatkan tempat yang terhormat di kalangan dokter di
Indonesia bahkan sudah diresepkan secara luas, yaitu ekstrak daun meniran yang
dibuat dalam bentuk kapsul dan sirup untuk meningkatkan daya tahan tubuh saat
diserang infeksi. Memang butuh perjuangan yang panjang untuk hal tersebut.
Setidaknya harus melewati 4 fase pengujian, mulai dari pengujian pada binatang,
pada sukarelawan untuk menilai toksisitasnya, pada penderita dalam skala
terbatas dan dibawah pengawasan ahli secara ketat, dan akhirnya dikonsumsi pada
masyarakat secara luas.
Wallahua’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar