Seorang remaja laki-laki, biasa disebut dengan santri SMP di
suatu pondok pesantren yang saya pernah menjadi dokter di unit kesehatan pondok
(UKP), datang di UKP dengan keluhan demam tinggi. Seperti biasa, kalau ada
pasien demam saya memberi obat penurun panas dan multivitamin. Kemudian remaja
tersebut pulang ke kamarnya. Ketika pasien santri sudah mulai sepi, mas Untung,
seorang perawat yang bersama saya bekerja di jam shift tersebut, bercerita
mengenai remaja laki-laki yang demam tersebut.
“Kok bisa ya mas Yusuf, santri yang tadi itu demam setiap
dua minggu sekali” kata mas Untung mengawali pembicaraan. “Maksudnya?” tanya
saya. O ya sebelumnya saya informasikan di pondok pesantren tempat saya pernah
bekerja menerapkan bahwa santri dan santriwati libur setiap jum’at, dimana
setiap dua pekan sekali (satu pekan untuk santri dan satu pekan untuk
santriwati; jadi tidak ada kesempatan santri bertemu dengan santriwati karena
jadwal keluarnya berbeda pekan) diizinkan keluar pondok sampai jam 17.00. Pada
kesempatan keluar itu banyak dimanfaatkan oleh keluarga santri untuk mengajak
putra putri kesayangannya.
“Maksudnya begini mas Yusuf, santri yang demam tadi itu,
sakit demamnya setiap dua minggu, setiap malam kamis. Nah pada hari jum’at,
setelah ketemu dengan bapak ibunya dan diajak keluar, demamnya langsung
sembuh”. Jelas mas Untung.
“Iya ya mas, unik benar kasus santri itu ya” jawab saya.
Kalau pada anak saya, kejadian demam tinggi, keduanya
terjadi pada saat masih dalam usia sekitar balita (bawah lima tahun). Pada
kasus santri ini, terjadi pada usia SMP. Mengapa keinginan anak atau remaja
yang begitu mendalam, dalam belum terwujud, membuat anak atau remaja tersebut
mengalami demam tinggi? Penjelasan lebih lanjut nanti akan diuraikan di bab “mengapa
emosi memengaruhi kesehatan?”. Selanjutnya akan saya paparkan lagi
contoh-contoh kasus keterkaitan antara permasalahan pengelolaan emosi dengan
kesehatan seseorang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar